Jumat, 28 Desember 2012

Menjadi Pionir



Menjadi pionir memang membutuhkan pengorbanan, baik materi terlebih lagi pengorbanan batin. Berpisah dari keluarga, terpaksa tidur di kantor merupakan makanan sehari-hari. Belum lagi bila bertepatan dengan bulan puasa. Sedih rasanya harus buka puasa atau sahur sendirian dan membiasakan diri makan mie instant.

Begitulah kira-kira yang kami alami di saat membuka kantor baru. Dengan adanya keputusan menteri, kantor kami resmi berdiri. Kota dimana kantor kami berdiri adalah ibukota salah satu kabupaten di salah satu wilayah provinsi di Sulawesi. Nama kabupaten sendiri adalah nama pulau dimana kabupaten berada, yang bersebelahan dengan sebuah pulau tetangga.

Memang agak lucu, karena ada sebagian daerah di pulau tersebut yang masuk wilayah pulau tetangga, dan sebaliknya ada daerah di pulau tetangga yang masuk wilayah kabupaten di pulau tersebut. Untuk mencapai kota tersebut kita memerlukan waktu 2 – 3 jam dari ibukota propinsi dengan menggunakan kapal cepat. Kita juga dapat menempuh jalur laut selama 1,5 jam dari ibukota kabupaten tetangga, dimana sebelumnya kami berkantor disitu.

Posisi kota berada di pinggiran laut yang memanjang dari arah utara ke selatan. Di seberang laut, nampak gugusan pulau tetangga. Kondisi kota mirip kota-kota kecamatan di pulau jawa. Tidak banyak kendaraan yang lalu lalang.

Kantor kami terletak di daerah pinggiran kota, bersebelahan dengan hutan jati yang sudah mulai gundul akibat pencurian kayu. Areal hutan jati tersebut sudah dikapling-kapling masyarakat untuk dijadikan ladang atau tempat tinggal. Dalam 5 tahun mendatang, kemungkinan pohon-pohon jati akan menjadi barang langka di kota tersebut.

Dari pelabuhan kita bisa menyewa ojek selama 15 menit menuju kantor kami. Jalan kota berkelok-kelok, naik turun seperti di perbukitan. Jangan sekali-kali berjalan sendiri apabila baru pertama kali datang bila tidak ingin tersesat di jalanan. Anda akan bingung untuk mengingat jalan kembali ke tempat semula. Meski lebar namun jalanan relatif sepi. Maklum kota kecil.

Dipinggir-pinggir jalan dan di pekarangan rumah banyak tanaman hijau, yang menandakan tanah di kota tersebut relative subur. Dibutuhkan waktu agak lama untuk mengenal dan menghafal jalan-jalan di kota. Atau lebih baik kita tidak perlu malu-malu untuk bertanya. Masyarakat kota tersebut cukup ramah dan welcome dengan kedatangan orang asing meski orang di kota tersebut terkenal dengan istilah 'politik tinggi'. Berbagai kericuhan politik di wilayah propinsi tersebut dapat dipastikan karena ulah orang-orang dari kota/kabupaten tersebut.

Sepi dan sunyi adalah kesan pertama yang kita dapatkan ketika sampai di kantor baru kami. Selain karena di pinggiran kota, kendaraan yang lalu lalang juga jarang. Agak sulit mendapatkan kendaraan, paling-paling hanya ojek yang kadang-kadang lewat tanpa sengaja di depan kantor. Untunglah sebagian dari kami membawa kendaraan masing-masing.  Hal itu juga tidak lepas dari kesulitan, yaitu mengisi bahan bakar. Kami harus antri panjang atau kalau tidak mau antri, harus datang pagi-pagi karena hanya ada satu tempat pompa bensin. Tapi kadang, semua orang pikirannya sama, yaitu datang pagi-pagi. Akhirnya ya tetap antri juga.

Berkeliling mencari rumah adalah hal pertama yang kami lakukan ketika tiba di kota tersebut. Agak sulit mencari tempat tinggal. Apalagi ingin mendapatkan rumah yang sesuai dengan keinginan kita. Ada rumah yang bagus tapi mahal. Ada yang murah tapi belum layak huni. Belum adanya SK definitif juga membuat kami ragu-ragu untuk menentukan keputusan apakah menunggu dulu SK baru mengontrak rumah ataukah langsung mengontrak rumah selama 1 tahun kedepan. Akhirnya kami memutuskan untuk sewa/kos satu bulan sambil menunggu SK definitif.

Kantor kami yang masih meminjam dari pemda, cukup bagus, tertata rapi dengan beberapa ruangan yang bersekat-sekat. Posisinya memanjang menghadap kearah utara. Bagian depan dan kiri kantor adalah jalanan umum. Di sebelah barat, hutan jati yang tadi disebutkan. Ada dua ruangan ber-AC yaitu ruang komputer dan ruang kepala kantor. Kamar mandi/WC ada dua, ruangan dapur dan juga gudang. Halaman yang cukup lebar terletak di bagian depan dan kiri. Belum ada tempat parkir kendaraan. Ada banyak tanaman bunga di pinggir teras. Pintu masuk ada di bagian depan dan bagian kiri. Meja, kursi, semuanya tertata rapi. Pokoknya sudah siap untuk menjadi kantor baru kami.

Hole…hole… hole… kami korps….., begitulah lagu yang akan sebentar lagi terdengar di langit kota. Sebenarnya bisa saja kami tinggal di kantor selama masih berstatus sebagai pegawai yang diperkerjakan/detasir. Namun kebutuhan air-lah yang membuat kami putus asa. Dua hari sekali air baru mengalir dari PDAM. Dan itu pun kecil mengalirnya, mungkin karena tempatnya yang agak tinggi dibanding wilayah yang lain. Belum lagi jumlah kami yang tidak sedikit. Bak mandi yang relatif kecil tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan kami. Dua hari pertama cukup untuk dijadikan bahan pertimbangan. Diputuskan sebagian ada yang tinggal di kantor dan ada yang menginap di hotel. Benar-benar merupakan masa-masa sulit yang harus kami hadapi dengan lapang dada dan penuh kesabaran, apalagi dalam kondisi sedang puasa ramadhan. Akhirnya setelah mendapatkan informasi dari sana-sini kami mendapatkan tempat tinggal kos-kosan masing-masing.

Pagi hari masuk kantor, datang absen, duduk sebentar, kemudian mondar-mandir dari satu ruangan ke ruangan lain mencari teman untuk diajak ngobrol. Atau paling-paling main game di komputer atau main domino atau main catur atau duduk termenung sambil terus meratapi keadaan. Jenuh, bosan semakin terus menggelayuti diri kami. Ditambah lagi rasa kangen dengan keluarga membuat kami seolah-olah terus menghitung waktu menunggu datangnya hari libur kerja. Kondisi tersebut menambah kami makin putus asa. Kami tak lebih, datang jaga kantor.

Bagai katak dalam tempurung. Itulah yang kami alami. Tidak ada musik, tidak ada berita apalagi hiburan yang menentramkan batin. Ada CD-ROM tapi tidak ada speaker. Kalau nekat memutar film mungkin seperti film charli caplin, film bisu tanpa suara. Semuanya sunyi sepi, menumbuhkan kerinduan kepada keluarga. Belum ada pekerjaan yang datang. Surat-surat pun hanya ada satu atau dua. Itu pun cukup dikerjakan oleh satu orang dan hanya membutuhkan waktu paling lama lima menit.

Jam empat sore kami pulang kantor. Namun masih dengan pertanyaan apa yang akan kami kerjakan di rumah kos. Tidak ada keluarga. Mau masak, tidak ada alat masak. Akhirnya hanya jalan-jalan keluar sambil menunggu saat buka puasa. Bila tiba waktu buka, kami masuk warung makan. Malamnya pergi ke mesjid untuk sholat isya dan tarawih. Pulang dari mesjid, mengobrol sebentar kemudian langsung tidur sampai akhirnya bangun makan sahur.

Kami sadar tidak ada gunanya terus mengeluh. Mengeluh tidak membuat semuanya menjadi lebih baik. Ada yang harus kami lakukan. Kami memang harus berubah. Kami harus pindah dari tempat yang telah memberikan kebahagiaan ke tempat yang harus pula membuat kita bahagia. Kita sendiri yang bisa merubah kondisi buruk menjadi lebih baik. Kami harus cepat menyadari bahwa semuanya sudah menjadi jalan hidup dan pilihan kami. Mungkin kita ditempatkan di tempat yang belum kita senangi. Kita harus berusaha menyenangi dan mendapatkan kebahagiaan yang sama bahkan lebih dari tempat yang lama.

Harus dimaklumi jika kami belum siap dengan keadaan kami. Itu mungkin karena kami tidak terbiasa dengan kondisi yang memprihatinkan. Kami terbiasa hidup di kota besar, berkecukupan dan bahagia bersama keluarga. Namun kita juga harus menyadari bahwa kebahagiaan itu bisa berpindah tempat, tergantung bagaimana kita bersikap dan menciptakannya kembali di tempat baru.

Percaya atau tidak, itulah keadaan kami. Hanya ada satu keyakinan bahwa kebahagiaan pasti dapat kami raih kembali. Dan kebahagiaan di tempat itu mungkin tidak akan berlangsung lama. Selanjutnya, mungkin kami akan berpindah tempat yang tidak kami ketahui sebelumnya. Akan ada pengganti kami disini. Dan hal itu akan terus berulang. Begitulah hidup, kita harus mau berubah. Tidak ada yang abadi, kecuali perubahan itu sendiri.

(Tulisan saya diatas pernah dimuat di majalah Anggaran Edisi no.78 tahun 2002, hal 50 – 51, saya tulis kembali dengan beberapa editing)