Rabu, 12 Desember 2012

Paradigma Keliru Dalam Birokrasi


Tulisan dibawah ini saya buat di akhir tahun 2004 dengan memperhatikan kondisi saat itu, apakah kondisi sekarang sudah berubah? pertanyaan retoris...

***

            Kemarin, tanggal 27 Desember 2004 adalah hari bersejarah bagi saudara-saudara kita yang lulus ujian CPNS. Paling tidak sore harinya, seekor ayam dikorbankan untuk pesta syukuran. Belum lagi yang bernazar untuk memotong kambing dan mengundang sanak famili. Dan yang mungkin terjadi pada malam harinya adalah mereka bermimpi berseragam dinas dan pergi ke kantor dilepas oleh seluruh anggota keluarganya atau bahkan mungkin bagi yang masih gadis akan diantar oleh bapaknya. Di sepanjang perjalanan, para tetangga melihatinya dengan beragam sikap, ada yang kagum atas keberhasilannya, ada yang keheranan bagaimana ia bisa diterima, ada juga yang iri dan melengos ketika akan disapa.
 
            Melalui model pelaksanaan seleksi kali ini, dengan begitu banyaknya tuntutan agar bersih dari KKN, kita berharap bahwa mereka yang lulus adalah orang-orang yang memiliki kompetensi melebihi peserta seleksi CPNS lainnya. Dengan kata lain, bukan karena suap, dan katebelece. Logikanya, setelah menjadi PNS mereka tidak berpikir untuk “balikin modal”, sehingga benar-benar mereka bekerja dengan baik dan jauh dari perilaku tidak terpuji seperti, korupsi, kolusi dan manipulasi sebagaimana yang sering dituduhkan kepada para seniornya.

            Celakanya, para CPNS baru ini bukan masuk dalam lingkungan birokrasi dengan paradigma yang sehat, tetapi birokrasi yang dipenuhi dengan paradigma-paradigma konyol. Sejatinya, telah ada usaha-usaha untuk merombak paradigma-paradigma kotor tersebut, tetapi kenyataannya usaha ini belum sepenuhnya berhasil. Paradigma-paradigma konyol tersebut masih saja bercokol dalam birokrasi kita. Agar para CPNS baru tidak segera tercemar dengan paradigma yang keliru, ada baiknya mereka mengetahui terlebih dahulu.

            Beberapa paradigma yang keliru antara lain adalah sebagai berikut :
  1. “Kalau urusan bisa dipersulit, kenapa harus dipermudah”. Mekanisme dan prosedur administratif yang sesungguhnya cukup mudah kemudian dibuat berbelit-belit. Melalui dalil itu, mereka bisa mendapatkan extra money". Kecepatan dan keakuratan pelayanan bukanlah target utama, yang menjadi target adalah berapa besar barang atau uang yang bisa didapat dari pelayanan itu.
  2. “Yang penting ikut apel pagi dan apel pulang”. Maka yang terjadi adalah banyaknya para PNS yang keluyuran pada waktu jam kerja. Bagi mereka yang penting adalah datang pagi hari untuk mengisi absent hadir dan apel pagi, duduk sejenak di ruangan, baca koran, lalu pergi entah kemana. Kemudian, siang harinya datang kembali  ke kantor untuk apel dan mengisi absent pulang. Akibat dari perbuatan ini adalah kerugian yang ditanggung masyarakat. Pelayanan birokrasi menjadi terhambat karena pejabat atau pegawai yang menangani tidak berada di tempat.
  3. Saya digaji bukan karena bekerja tetapi karena ada SK, maka saya harus mendapatkan imbalan/reward  dari setiap pekerjaan yang saya lakukan”. Dampaknya adalah tak ada niat yang ikhlas dalam memberikan pelayanan. Semua yang dilakukan dalam memberikan pelayanan didasari pamrih untuk mendapatkan imbalan. Bahkan tak jarang para birokrat memposisikan diri sebagai konsultan yang harus dibayar ketika masyarakat meminta penjelasan/petunjuk dalam menyelesaikan suatu urusan yang sebenarnya sudah menjadi bagian dari tugas pokoknya. Disisi lain, kecepatan pelayanan yang diberikan kepada masyarakat dinilai sebagai jasa yang harus dibayar dengan uang. Alternatif “jalan tol” dalam memberikan pelayanan senantiasa diiming-imingkan kepada masyarakat yang tentunya dengan membayar sejumlah uang.
  4. “Ketentuan persyaratan dalam pemberian pelayanan birokrasi dilaksanakan secara saklek, tetapi bila disodori angpou, ia akan berkata o… beres, nanti kami bantu”. Yang sering terjadi adalah beberapa ketentuan atau peraturan sudah terlalu kuno dan tidak lagi cocok dengan perkembangan teknologi yang serba cepat, tetapi dilaksanakan secara konservatif dan dijadikan senjata ampuh. Bahkan  beberapa persyaratan sebenarnya sudah tertampung dalam persyaratan lainnya. Jika aturan ini tidak dipenuhi, mereka akan menolak melayani. Anehnya, jika disuap mereka akan berubah sikap menjadi sangat familiar dan seolah-olah peduli dan akan siap membantu.
  5. Pekerjaan PNS hanya sebagai sambilan. Dengan alasan gaji PNS kecil, beberapa bahkan mungkin sebagian besar PNS mempunyai pekerjaan sambilan dalam rangka untuk memenuhi kebutuhannya. Sayangnya, tak jarang pekerjaan yang semula hanya sekedar sambilan berubah menjadi pekerjaan utama, sementara pekerjaan PNS menjadi sambilan. Maka, pada jam-jam kantor, ia asyik diluar melakukan aktivitas kerja sampingan, sementara  tugas-tugas di kantor menjadi terbengkalai. Tidak sedikit dari mereka –yang merasa pekerjaan sambilan tadi lebih menguntungkan- menyogok teman-temannya di kantor untuk tutup mulut. Ia enggan keluar dari PNS karena ia masih membutuhkan status PNS.
  6. PNS = Pegawai Nyaman Sekali, PNS = priyayi. Dengan pakaian dinas yang bagus, ia berangkat ke kantor. Tak ada keringat dalam melakukan pekerjaan. Terlambat masuk kantor juga tidak mengurangi gajinya. Kalau ada tetangga yang punya hajat atau ia sendiri punya urusan, bisa saja ia ijin tidak masuk kantor. Itu pun juga tidak mengurangi gajinya. Tiap awal bulan sudah pasti ia menerima gaji. Dengan modal SK ia bisa ambil kredit di bank. Dengan statusnya sebagai PNS, ia dihormati di masyarakat, minimal di lingkungannya menjadi pengurus RT. Kebanyakan mereka memposisikan diri sebagai “priyayi”, yang ingin selalu dihornati dan dilayani orang lain. Maka, motto “PNS siap melayani masyarakat”, hanya akan menjadi sekedar slogan jika ia tetap menganggap dirinya priyayi.