Kamis, 18 Juli 2013

Pada Suatu Ketika



(Aku tulis Pada Suatu Ketika)

Pada suatu ketika dimana aku hidup di lingkungan yang penuh dengan ketidakpercayaan. Kebencian selalu muncul pertama ketika manusia ingin menanggapi permasalahan yang timbul. Jalan buntu sudah menjadi alur yang tak pernah terpecahkan. Maka yang terjadi adalah kekacauan hidup. Ketentraman dan kedamaian hilang bersama hembusan dendam. Aroma haus kekuasaan dan ambisi jabatan bagaikan bau bangkai ayam yang berumur dua hari. Hidung senantiasa disumbat dengan tangan yang penuh dengan kotoran harta benda. Tak ada lagi yang bersih. Tak lagi dapat ditemukan kesucian jiwa. Semua penuh dengan debu-debu yang sangat susah untuk dibersihkan walaupun dengan deterjen bahkan air aki sekalipun.

Dan yang lebih parah adalah rasa humor yang telah lenyap dari jiwa anak manusia. Semua penuh dengan kemurkaan, kemunafikan dan tipu muslihat. Manusia memakan manusia meski hewan tak lagi memakan sesamanya. Sungguh hina dan rendah martabat manusia. Walau telah dicampakkan di tempat sampah yang paling jorok tetap saja belum pantas penempatannya. Jika ada kata-kata yang lebih rendah dari itu mungkin itulah yang pantas untuk hal demikian. Namun tetap saja manusia adalah manusia. Mereka punya rasa, raga, dan jiwa. Mereka juga punya harga diri dan martabat. Tapi sekali lagi pada saat itu tak ada lagi itu semua. Yang tersisa hanyalah bangkai yang berjalan dan berkata-kata. Telah hilang roh suci yang mengatur jalannya. Tak ada lagi pikiran sehat yang mengontrol segala tindak tanduknya. Pikiran hanya diliputi dengan nafsu dan amarah. Jiwa yang tenang bersembunyi dibalik semuanya. Tak ada kekuatan yang bisa membangkitkan dari tidurnya yang telah lama dilupakan orang.

Pertanyaan-pertanyaan berputar-putar di benakku. Kenapa semua mesti terjadi. Siapa yang salah dan siapa atau apa penyebab ini semua. Aku bertanya pada rumput yang bergoyang tapi tak ada jawaban. Aku bertanya pada ombak tapi tak ada juga. Aku bertanya pada diriku sendiri dengan penuh keraguan. Kuberanikan diri, kupaksa langkah kakiku menghadapi semua dan akhirnya pecahlah semua biang keroknya. Hati yang dekil, kerdil dan penuh fatamorgana adalah penyebab utama dari krisis yang terjadi. Impian palsu dan utopia merasuki sumsum tulang belakang bahkan tulang rawan dan otak.

Aku terdiam tak bisa berkata-kata. Desir angin berembus bersamaan dengan desiran jantungku ketika kusaksikan anak manusia dibakar massa. Ternyata tidak hanya sampai disitu, manusia berperang dengan mengatasnamakan Tuhan. Padahal Tuhan tidak pernah menyuruh berbuat sedemikian kejam. Realita tak dapat disembunyikan. Amis kebohongan menyeruak ke tengah abad yang penuh dengan keganjilan.

Bom ada dimana-mana yang senantiasa mengintai tubuh untuk dicabik-cabik. Dentuman dan suara gelegarnya sudah menjadi nyanyian yang merdu di telinga. Desingan peluru juga bagaikan lalat yang selalu menghinggapi tubuh. Tumpahan darah menjadi bak laksana kubangan air yang biasa muncul di musim hujan. Senjata tajam, pistol dan lain sebagainya telah menjadi bagian dari pakaian yang kemanapun dikenakan. Maka kekacauan demi kekacauan tak terelakkan. Nyawa manusia selalu diintai setan-setan kotor hanya untuk sebuah dendam yang tak bermakna.