Senin, 27 Oktober 2014

"Berkat" Gepeng



Ada hal sepele yang terkadang membuat hubungan bertetangga atau bermasyarakat menjadi tidak rukun. Kelihatannya sepele tetapi dampaknya banyak pele. Sesuatu yang kelihatannya hanya berupa benda tetapi bisa mengakibatkan dosa. Seperti soal "berkat". Dalam sebagian masyarakat Jawa, kita mengenal berkat sebagai makanan yang diberikan oleh tuan rumah untuk dibawa pulang para jamaah tahlil. Biasanya acara yang diselenggarakan dikenal dengan sebutan kenduri atau kondangan atau selametan.
Ada cuplikan peristiwa soal berkat berikut ini:
Suatu malam, si suami pulang dari acara kenduri dengan membawa berkat. Tiba di rumah berkat diterima istrinya. Mestinya, si istri berucap alhamdulillah, tetapi ini malah mengucap: “halah-halaaaah.....”. Bahkan dengan nada nyinyir istrinya berkata: “Orang kaya seperti itu, bikin berkat kok kayak gini, dasar pelit.”
Ia bertanya pada suaminya.
          “Undangannya banyak, Pak?
Suami menjawab: “Ya banyak.”
“Disana dikasih makan gak, Pak?”
“Ya dikasih, tapi dua sendok langsung habis.”
Lalu, si istri membuka berkat sambil berkata ke suaminya.
“Pak..., orang kaya kok berkat-nya seperti ini, ya....”
“Coba, ini sayur tewelnya..., uhh... sudah basi...”
“Lihat..., nasinya keras sekali. Paling ini dari beras yang sudah lama sekali alias beras kawak.”
“Katanya orang kaya, tapi bikin berkat kok gepeng, tipis, kurus kayak gini.”
“Nasinya sedikit dengan lauk cuma sejumput, ada ikan bandeng tapi hanya buntut, ada daging sapi dengan irisan kecil-kecil serambut, dan ada mie ngruwel kayak janggut.”
Begitulah. Berawal dari soal berkat yang sepertinya sepele, tapi berakibat dosa karena ghibah, mengolok-olok. Dan jika terdengar oleh orang yang dimaksud akan merusak hubungan ketetanggaan. Padahal jika menerima pemberian dari pihak lain, mestinya disyukuri bagaimanapun bentuknya dan bukan malah balas mencemooh.

***