Jumat, 27 Juni 2014

Tradisi Keagamaan : "Megengan"



Setiap awal ramadhan, saya selalu teringat masa kecil di kampung. Kami menyambutnya dengan penuh suka cita. Saya sudah membayangkan  takjil : kolak, pisang goreng, heci (bakwan) dan umbi-umbian. Makanan juga lebih lezat dan bergizi dibandingkan hari biasa. Ada juga kue (puluran/jlaburan) di mesjid setiap malam sehabis sholat tarawih.

Diawali malam puasa pertama, setiap keluarga membawa makanan (ambengan) ke mesjid untuk acara kenduri. Ini bagian dari tradisi megengan. Sehabis tarawih, tahlil dan doa bersama, kami makan bersama di serambi masjid dengan berkerumun 3 sampai 4 orang pada setiap ambengan. Jika beruntung, kami bisa mendapat ayam panggang. Setelah kenyang, sisanya dibungkus untuk dibawa pulang sebagai berkat.

Beberapa hari sebelumnya, kami sudah mempersiapkan hiburan pada siang hari saat puasa. Untuk melupakan rasa lapar dan haus. Kami membuat meriam bambu (dor-doran) dengan bahan ledak karbit. Atau membuat mercon. Kami pun berlomba, dor-doran siapa yang paling keras menggelegar.

Setelah puas bermain dor-doran atau karena karbit sudah habis, kami mulai bermain di kebun (tegalan) untuk mengumpulkan buah-buahan yang jatuh sebagai takjil buka puasa.

Malam hari kami menyalakan kembang api. Suasana malam di kampung menjadi hidup, ramai dengan suara orang tadarus, bahkan sampai tengah malam. Saat itulah, saya menjadi berani sekali untuk pulang sendiri dari mesjid melintasi tegalan yang gelap. Ada kesadaran, semua syetan telah diikat dan suara orang tadarus membuat saya tidak takut.

Kini, di sebagian tempat, tradisi megengan mulai ditinggalkan, dengan berbagai alasan. Seperti : buang-buang makanan, sibuk kerja, sampai dengan tudingan bid’ah.  Terlepas itu semua, ada hal yang perlu dipikirkan bahwa budaya atau tradisi keagamaan ternyata memberikan pengalaman religius bagi anak-anak. Dan itu akan membekas sampai dia dewasa.  Atau jangan-jangan karena doa Pak Kyai dan warga sekampung itulah yang membuat kita sukses seperti sekarang ini. 

Sepertinya hal itu mulai kita lupakan. Kita lebih memilih mendoktrin anak dibanding memberikan pengalaman religius melalui tradisi keagamaan. Sejatinya, kita bisa memilih. Toh, bagi sebagian besar umat, ada referensi bahwa tradisi seperti itu bukanlah termasuk bid’ah. Kecuali Anda sudah sangat terikat dengan kelompok yang membid’ahkan itu.

Selamat berpuasa….
***