Kamis, 19 Februari 2009

Uang Persediaan

Seri Teknik Perbendaharaan (1)


(Sungguh berani sekali saya menuliskan sebagai Teknik Perbendaharaan…  Apa yang saya tulis adalah tata cara perbendaharaan jaman dulu atau bisa dikatakan sudah lewat jaman alias kedaluarsa. Namun, saya meyakini teknik atau pengetahuan ini akan berguna pada saatnya nanti, minimal sebagai wasilah untuk bernostalgia…)
***

Dalam PMK No.134/PMK.06/2005 tentang Pedoman Pembayaran Dalam Pelaksanaan APBN Pasal 1 Point (9) : “Uang persediaan adalah sejumlah uang yang disediakan untuk satker dalam melaksanakan kegiatan operasional kantor sehari-hari”. Sedangkan dalam Perdirjen Perbendaharaan No.PER-66/PB/2005 tentang Mekanisme Pelaksanaan Pembayaran atas Beban APBN Pasal 1 ayat (14): “Uang Persediaan yang selanjutnya disebut UP adalah uang muka kerja dengan jumlah tertentu yang bersifat daur ulang (revolving), diberikan kepada bendahara pengeluaran hanya untuk membiayai kegiatan operasional kantor sehari-hari yang tidak dapat dilakukan dengan pembayaran langsung”.

Kalau kita membandingkan dua pengertian diatas, maka dapat kita pahami bahwa pengertian yang pertama lebih luas dibandingkan dengan yang kedua. Pada pengertian yang kedua dibatasi dengan kalimat “yang tidak dapat dilakukan dengan pembayaran langsung”. Contoh : Pengadaan ATK/supplies komputer senilai 2 jt dengan rekanan, sebuah Toko/CV. Jika Toko/CV tersebut memenuhi syarat untuk pembayaran langsung yaitu memiliki NPWP, rekening, faktur, maka pengadaan tersebut tidak dapat dibayarkan dari uang persediaan. Ini dipertegas lagi dengan Pasal 11 ayat (1) PMK No.134/PMK.06/2005 yaitu “Pelaksanaan pembayaran dengan uang persediaan dapat dilakukan oleh bendahara pengeluaran sepanjang pembayaran dimaksud tidak dapat dilakukan melalui pembayaran langsung (SPM-LS)”. Ini berarti tanggung jawab sepenuhnya adalah ditangan bendahara pengeluaran.

Namun, definisi dalam PER-66/PB/2005 tersebut kontradiksi dengan ketentuan Pasal 7 ayat (12) PER-66/PB/2005 : “Pembayaran yang dapat dilakukan oleh Bendahara Pengeluaran kepada satu rekanan tidak boleh melebihi Rp. 10.000.000 (sepuluh juta rupiah) kecuali untuk pembayaran honor”. Ketentuan ini telah ditafsiri, yaitu semua pembayaran bisa dengan UP asalkan tidak lebih dari 10 juta pada satu rekanan. Bahkan muncul pendapat, untuk sebuah kontrak pekerjaan dengan nilai 10 juta dengan rekanan yang telah memiliki NPWP, faktur, rekening dapat saja dibayarkan dengan mekanisme UP. Ketentuan ini pula yang kemudian menutup mata kita dari kalimat “yang tidak dapat dilakukan dengan pembayaran langsung” pada definisi UP tersebut.

Apakah kemudian kita perlu mengubah definisi UP dalam Perdirjen tersebut? Ada 2 pendapat. Pertama, kalau kita melihat ruh dari PMK atau Perdirjen tersebut, maka sebenarnya definisi tersebut sudah tepat karena sesungguhnya titik berat mekanisme pelaksanaan APBN adalah melalui mekanisme pembayaran langsung. Sedangkan pendapat kedua, definisi tersebut telah menghambat proses pencairan dana, karena dalam prakteknya mekanisme pembayaran langsung mempersyaratkan hal-hal seperti NPWP, rekening dan faktur, yang cukup rumit, yang tidak semua toko/rekanan memilikinya. Dalam hal ini proses pemerataan pekerjaan pada usaha kecil sulit terjadi.

Dalam praktek selama ini, penggunaan UP telah melebar dari hanya sekedar untuk kegiatan operasional kantor sehari-hari ke kegiatan tupoksi. Hal ini disebabkan adanya penafsiran dari ketentuan Pasal 7 ayat (7) point a PER-66/PB/2005, yaitu “UP dapat diberikan untuk pengeluaran-pengeluaran Belanja Barang pada klasifikasi belanja 5211, 5212, 5221, 5231, 5241, dan 5811”. Dalam komposisi DIPA, kita dapati beberapa kegiatan tupoksi menggunakan klasifikasi belanja tersebut. Inilah yang kemudian menyebabkan penggunaan UP tidak lagi terbatas pada kegiatan operasional kantor sehari-hari. Bahkan ketentuan Pasal 10 ayat (6) PMK No.134/PMK.06/2005, yaitu : “Pembayaran dengan menggunakan uang persediaan selain untuk membiayai kegiatan operasional kantor sehari-hari sebagaimana diatur pada ayat (1) dapat dilakukan setelah memperoleh persetujuan Dirjen Perbendaharaan”, telah diabaikan. Penyebabnya adalah karena dalam kegiatan tersebut menggunakan klasifikasi belanja diatas, sehingga tak perlu ijin Dirjen Perbendaharaan. Untuk itu, apakah kemudian kita perlu kembali mengatur atau memisahkan penggunaan akun belanja antara akun belanja untuk kebutuhan operasional kantor sehari-hari dan akun belanja untuk tupoksi? Dan Anehnya, ketentuan pasal 10 ayat (6) PMK tersebut tidak diatur kembali dalam Perdirjen. Apakah pengaturan UP dengan klasifikasi belanja diatas, otomatis sebagai persetujuan Dirjen Perbendaharaan? Mungkin juga. Satu lagi pertanyaan, mengapa belanja modal tidak masuk dalam klasifikasi belanja yang boleh di-UP-kan? Padahal dalam kegiatan operasional kantor sehari-hari didalamnya termasuk juga pengadaan barang-barang inventaris kantor yang masuk dalam klasifikasi belanja modal.

Telah kita ketahui besaran UP diatur dalam ketentuan Pasal 7 ayat (7) point c PER-66/PB/2005, yaitu :
UP dapat diberikan setinggi-tingginya:
a. 1/12 (satu per duabelas) dari pagu DIPA menurut klasifikasi belanja yang diijinkan untuk diberikan UP, maksimal Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) untuk pagu sampai dengan Rp. 900.000.000 (sembilan ratus juta rupiah);
b. 1/18 (satu per delapanbelas) dari pagu DIPA menurut klasifikasi belanja yang diijinkan untuk diberikan UP, maksimal Rp.100.000.000 (seratus juta rupiah) untuk pagu diatas Rp. 900.000.000 (sembilan ratus juta rupiah) sampai dengan Rp. 2.400.000.000 (dua miliar empat ratus juta rupiah);
c. 1/24 (satu per duapuluh empat) dari pagu DIPA menurut klasifikasi belanja yang diijinkan untuk diberikan UP, maksimal Rp.200.000.000 (dua ratus juta rupiah) untuk pagu diatas Rp. 2.400.000.000 (dua miliar empat ratus juta rupiah);
Sejatinya, jika kita konsisten dengan definisi UP diatas, besaran UP dalam ketentuan tersebut sangat mencukupi bahkan berlebihan, asalkan UP hanya untuk kegiatan operasional kantor sehari-hari dan bukan untuk kegiatan tupoksi.