Jumat, 01 November 2013

Fenomena Akhir Tahun



Bisa dipastikan setiap akhir tahun fenomena ini terus berulang. Perhatikan saja kegiatan seluruh instansi pemerintah menjelang akhir tahun. Banyak proyek dikebut. Jalan, jembatan diperbaiki. Gedung-gedung pemerintah berganti keramik dan dicat ulang. Taman-taman kantor dipercantik. Hotel-hotel dipenuhi dengan kegiatan rapat, workshop, rakernas dan konsinyering. Tiket-tiket pesawat diborong untuk kegiatan perjalanan dinas monitoring dan evaluasi. Begitulah, pengadaan barang dan jasa bertubi-tubi terjadi di akhir tahun. Seolah-olah semua instansi pemerintah berlomba untuk menghabiskan anggaran.

Maka yang terjadi adalah penumpukan permintaan pencairan dana dari kas negara. Pengeluaran anggaran meningkat drastis di periode akhir tahun.

Mengutip berita pada http://www.bisnis.com/articles/penyerapan-anggaran-lambat-picu-pelemahan-ekonomi , Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution mengatakan lambannya penyerapan anggaran pada tahun ini (2011) tidak bisa mendukung pertumbuhan ekonomi. Padahal roda perekonomian bisa bergerak lebih kencang lagi kendati kondisi global masih gonjang-ganjing. Ada dua implikasi dari hal itu.

Salah satu implikasi langsung dari lambannya penyerapan anggaran, adalah pertumbuhan ekonomi melambat menjadi 6,5% dari kuartal sebelumnya 6,6%. Padahal BI memperkirakan pertumbuhan ekonomi bisa mencapai 6,6% pada kuartal III kendati ada krisis Eropa.

Implikasi kedua, realisasi anggaran secara besar-besaran pada akhir tahun (2011) akan membuat 'gejolak' pada stabilitas moneter terutama dari sisi nilai tukar dan inflasi. Diperkirakan akan ada realisasi anggaran sekitar Rp60 triliun-Rp70 triliun.

Masih menurut Darmin Nasution, jika realisasi anggaran dilakukan lebih awal akan memicu dampak berganda. Namun, dia menyadari masalah tersebut bukan hanya di tangan Kementerian Keuangan, melainkan penyakit pada semua kementerian. Dia mengungkapkan saat ini saja APBN masih terjadi surplus hingga Rp47 triliun.

Pernyataan Darmin Nasution tersebut kemudian mendapat tanggapan dari pihak Pemerintah. Mengutip  isi berita pada http://www.bisnis.com/articles/belanja-negara-bukan-pemicu-inflasi, Direktur Jenderal Perbendaharaan, Agus Suprijanto, menjelaskan bahwa pernyataan Gubernur BI, bahwa pengeluaran anggaran yang melonjak di akhir tahun akan memicu inflasi, adalah tidak tepat.

Dalam bantahannya Agus menjelaskan, bahwa menyangkut jumlah pengeluaran di akhir tahun, yang diperkirakan BI berkisar Rp40 triliun-Rp50 triliun, relatif kecil bila dibandingkan dengan total jumlah uang yang beredar. Dana-dana yang berasal dari pengeluaran di akhir tahun tersebut biasanya langsung masuk ke sistem perbankan dalam bentuk time deposit karena kegiatan atau proyek yang dibiayai sudah selesai dilaksanakan. Oleh karena itu pengeluaran anggaran negara pada akhir tahun  tidak ada efek demand pull (penarik permintaan). Berdasarkan data historis sejak 2005 sampai tahun lalu, lonjakan pengeluaran di akhir tahun tidak ada efek inflationary-nya [demand pull]. Kalau ada, itu karena naiknya aktivitas perekonomian menjelang Natal dan Tahun Baru.

Terlepas dari pro kontra tersebut, ada fakta yang tidak bisa disangkal yaitu pelonjakan pengeluaran anggaran di akhir tahun. Pada tulisan ini, penulis ingin mencermati pada persoalan tersebut yaitu mengapa realisasi kegiatan, proses pengadaan barang/jasa dan pencairan dana menumpuk di akhir tahun?

Menurut penulis, hal tersebut disebabkan karena beberapa faktor. Pertama, lemahnya perencanaan pada semua kementerian/lembaga. Meski sebenarnya pada Dokumen Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) sudah harus mencantumkan rencana penarikan dana setiap bulannya, tetapi dalam prakteknya pencantuman angka tersebut hanya sekedar untuk kepentingan administrasi dan aplikasi. Termasuk didalam faktor ini adalah penyusunan Rencana Kerja Anggaran Kementerian/Lembaga (RKAKL) yang masih saja mendasarkan pada RKAKL tahun sebelumnya. Yang banyak terjadi adalah rencana kegiatan yang akan dilaksanakan pada tahun berikutnya merupakan copy paste kegiatan tahun berjalan dengan pagu dana yang ditambahkan atau disesuaikan. Mengapa demikian? Praktek yang terjadi adalah penyusun RKAKL malas untuk memikirkan kegiatan baru pada tahun yang akan datang, atau sebagai akibat lemahnya koordinasi dalam penyusunan RKAKL yang memang melibatkan beberapa unit terkait. Ketika kemudian pada tahun berjalan tersebut, muncul jenis kegiatan baru, ada inovasi kegiatan dan karena memang sebelumnya tidak pernah dianggarkan, maka harus dilakukan revisi terlebih dahulu. Ini yang kemudian memakan waktu dan mengubah time frame realisasi kegiatan.

Kedua, penyusunan DIPA yang kurang akurat. Untuk mengejar target penyusunan dan penyerahan DIPA, yang terjadi adalah yang penting DIPA bisa diterbitkan pada 1 Januari atau sebelumnya. Bagaimana kualitas isi maupun persyaratan pendukung, kadang sedikit diabaikan karena sempitnya waktu penyusunan. Akibatnya, di DIPA masih banyak ditemukan kegiatan dan pagu dana yang diberi tanda bintang (diblokir) atau ditemukan akun (kode pembebanan) yang salah. Sehingga kegiatan belum bisa dilaksanakan karena harus mengajukan revisi untuk penurunan tanda bintang atau revisi akun. Ini tentu memakan waktu, yang menyebabkan mundurnya penarikan dana dan realisasi anggaran.

Ketiga, sebagai efek dari lemahnya perencanaan, ketika masuk semester 2, pada umumnya setiap Kementerian/Lembaga melakukan evaluasi penyerapan anggaran, yang kemudian memutuskan untuk pengalihan pagu dana antar unit di lingkungan kementerian tersebut. Keputusan ini dapat diwujudkan dengan melakukan revisi terlebih dahulu. Ini juga memakan waktu. Kemudian, bagi unit yang tiba-tiba mendapat pengalihan dana juga membutuhkan waktu untuk melakukan persiapan sampai dengan proses pengadaan barang/jasa. Dengan start waktu pada semester dua, tak ayal lagi, proses pencairan dana akan menumpuk pada akhir tahun.

Keempat, masih rendahnya kualitas pengelola keuangan. Meski saat ini, proses pencairan dana relatif lebih simple, namun pada kenyataannya masih saja terdapat pengembalian dokumen pencairan dana karena persyaratan yang belum lengkap atau kesalahan pada dokumen. Ini tentu menyebabkan kualitas penyerapan dana menjadi kurang bagus, karena adanya tambahan waktu untuk melakukan perbaikan dokumen atau melengkapi dokumen persyaratan.

Kelima, mengejar target penyerapan anggaran. Hal ini merupakan akumulasi dari sebab-sebab sebelumnya. Setelah melakukan evaluasi dan ternyata prosentase penyerapan anggaran relatif rendah, maka pada akhir tahun proses penyerapan terus digenjot. Dan terjadilah fenomena akhir tahun diatas.