Selasa, 28 Januari 2014

Serial Perjalanan (1) ~ Pulau Alor - NTT



Tak pernah sekalipun aku menduga perjalananku sampai disini, di Kalabahi, Alor. Saat akan terbang dengan Merpati dari Kupang, aku sempat ragu. Cuaca yang mendung, kredibilitas Merpati yang tidak juga membaik dan jadwal delay, makin menyurutkan nyaliku untuk terbang ke Mali.

Bismillah, aku kuatkan hatiku. Aku tiba di Mali dengan selamat.

Menunggu satu jam lebih. Meski sudah kutelpon berkali-kali seseorang yang dijanjikan untuk menjemput kami berdua, tetap saja kami harus menunggu. Ya sudah, kami bersabar..

"Kemana kita, Pak?” Tanya Ospo saat berada di mobil yang menjemput kami. “Ke kantor saja dulu,” jawabku. Kami tiba di depan sebuah bangunan kecil, dimana salah satu kantor kami beroperasi. Kami masuk ke dalam dan mengamati seluruh isi ruangan. 

 “Kami menginap di hotel saja,” jawabku setelah mendengar tawaran untuk bermalam di kantor. Bukan hotel yang aku temukan, tapi sebuah penginapan. Tak apa, yang penting bisa untuk beristirahat.
Sore itu kami mencoba menikmati kota Kalabahi dengan sepeda motor kantor. Aku arahkan ke Pelabuhan. “Isi bensin dulu,” kataku ke Pring. “Satu botol berapa, Bu?” Tanyaku ke penjual bensin di jalanan masuk ke Pelabuhan. “Sepuluh ribu,” jawabnya.
Setelah berfoto ria di pelabuhan, kami berhenti di pinggir lapangan dengan keramaian masyarakat Kalabahi menyaksikan pertandingan sepak bola. Kulihat diseberang jalan tulisan besar : Kalabahi Kota Kenari.

Malam itu, dengan ditemani hidangan ikan bakar kami merencanakan perjalanan esok hari dengan menyewa mobil. Sebuah petualangan untuk menikmati keindahan Pulau Alor.

Dan benar saja, betapa keaslian alam Pulau Alor sudah aku rasakan di sepanjang perjalanan menuju Takpala, sebuah kampung tradisional. Kami menyusuri pinggiran laut dengan airnya yang jernih.

Aku pun telah berada di sebuah bukit dimana Takpala berada. Hamparan laut nan indah tak dapat kami lewatkan begitu saja.
“Selamat pagi, Bu,” kusapa dan kuberjabat tangan dengan beberapa penduduk yang tinggal disitu. Kucoba menikmati keheningan dan kedamaian jauh dari hiruk manusia modern. Kuamati bangunan rumah, aktivitas penduduk dan berfoto.
“Berapa harga selendang ini,” tanyaku. “Seratus ribu,” jawab seorang ibu. Kami tawar menawar dan sepakat dengan harga tujuh puluh ribu.
Petualangan kami berlanjut. Berpantai-pantai. Ada lima pantai yang kami kunjungi. Sungguh takjub. Pantai yang alami, air yang jernih dan pasir putih.
Sore hari kami mengakhiri petualangan di Pulau Alor. Sangat mengesankan….., dan malam itu, ketakjubanku bertambah. Sebaris BBM dari seseorang yang aku hormati. “Selamat mas ya atas promosinya ke Pelaihari." Deg…… jantungku berdesir. Pelaihari…, sebuah kota di Tanah Laut Kalimantan Selatan.
Tiba-tiba malam itu aku insomnia... Kupaksakan tidur karena esok pagi, kami harus kembali terbang ke Kupang.

Dan episode berikutnya adalah sebuah lakon di Tanah Laut… sebuah nama yang menurutku sangat puitis.

 ***