Tak pernah
sekalipun aku menduga perjalananku sampai disini, di Kalabahi, Alor. Saat akan
terbang dengan Merpati dari Kupang, aku sempat ragu. Cuaca yang mendung,
kredibilitas Merpati yang tidak juga membaik dan jadwal delay, makin
menyurutkan nyaliku untuk terbang ke Mali.
Bismillah, aku kuatkan hatiku. Aku tiba di Mali dengan selamat.
Bismillah, aku kuatkan hatiku. Aku tiba di Mali dengan selamat.
Menunggu
satu jam lebih. Meski sudah kutelpon berkali-kali seseorang yang dijanjikan
untuk menjemput kami berdua, tetap saja kami harus menunggu. Ya sudah, kami
bersabar..
"Kemana
kita, Pak?” Tanya Ospo saat berada di mobil yang menjemput kami. “Ke kantor
saja dulu,” jawabku. Kami tiba di depan sebuah bangunan kecil, dimana salah satu
kantor kami beroperasi. Kami masuk ke dalam dan mengamati seluruh isi ruangan.
“Kami menginap di hotel saja,” jawabku setelah mendengar tawaran untuk bermalam di kantor. Bukan hotel yang aku temukan, tapi sebuah penginapan. Tak apa, yang penting bisa untuk beristirahat.
“Kami menginap di hotel saja,” jawabku setelah mendengar tawaran untuk bermalam di kantor. Bukan hotel yang aku temukan, tapi sebuah penginapan. Tak apa, yang penting bisa untuk beristirahat.
Sore itu
kami mencoba menikmati kota Kalabahi dengan sepeda motor kantor. Aku arahkan ke
Pelabuhan. “Isi bensin dulu,” kataku ke Pring. “Satu botol berapa, Bu?” Tanyaku
ke penjual bensin di jalanan masuk ke Pelabuhan. “Sepuluh ribu,” jawabnya.
Setelah
berfoto ria di pelabuhan, kami berhenti di pinggir lapangan dengan keramaian
masyarakat Kalabahi menyaksikan pertandingan sepak bola. Kulihat diseberang jalan
tulisan besar : Kalabahi Kota Kenari.
Malam itu, dengan ditemani hidangan ikan bakar kami merencanakan perjalanan esok hari dengan menyewa mobil. Sebuah petualangan untuk menikmati keindahan Pulau Alor.
Dan benar
saja, betapa keaslian alam Pulau Alor sudah aku rasakan di sepanjang perjalanan
menuju Takpala, sebuah kampung tradisional. Kami menyusuri pinggiran laut
dengan airnya yang jernih.
Aku pun telah berada di sebuah bukit dimana Takpala berada. Hamparan laut nan indah tak dapat kami lewatkan begitu saja.
“Selamat
pagi, Bu,” kusapa dan kuberjabat tangan dengan beberapa penduduk yang tinggal
disitu. Kucoba menikmati keheningan dan kedamaian jauh dari hiruk manusia
modern. Kuamati bangunan rumah, aktivitas penduduk dan berfoto.
“Berapa
harga selendang ini,” tanyaku. “Seratus ribu,” jawab seorang ibu. Kami tawar
menawar dan sepakat dengan harga tujuh puluh ribu.
Petualangan
kami berlanjut. Berpantai-pantai. Ada lima pantai yang kami kunjungi. Sungguh takjub.
Pantai yang alami, air yang jernih dan pasir putih.
Sore hari
kami mengakhiri petualangan di Pulau Alor. Sangat mengesankan….., dan malam itu,
ketakjubanku bertambah. Sebaris BBM dari seseorang yang aku hormati. “Selamat mas
ya atas promosinya ke Pelaihari." Deg…… jantungku berdesir. Pelaihari…, sebuah kota
di Tanah Laut Kalimantan Selatan.
Tiba-tiba malam
itu aku insomnia... Kupaksakan tidur karena esok pagi, kami harus kembali terbang
ke Kupang.
Dan episode berikutnya adalah sebuah lakon di Tanah Laut… sebuah nama yang menurutku sangat puitis.
***