***
Sore itu seorang teman mengajakku jalan
mencari makan sambil melihat-lihat situasi sekeliling hotel tempat kami
menginap. Kulihat antrian sepeda motor di sebuah SPBU. Kami menemukan sebuah
warung kecil. Temanku memesan mie instan rebus. Aku makan beberapa cemilan.
Hari sudah memasuki waktu maghrib. Adzan berkumandang. Di tengah kami menikmati
makanan, tiba-tiba lampu dimatikan dan pemilik warung menutup pintu. Kami
terkejut, berdiri dan siap-siap untuk lari. Pemilik warung menenangkan kami dan
mengatakan bahwa beginilah di Aceh. Jika terdengar adzan, semua warung atau
toko harus tutup, atau bagaimana caranya agar tidak terlihat aktivitas duniawi.
Meski secara umum kondisi sudah aman, kami
datang ke Aceh setelah kejadian penembakan di suatu daerah di wilayah Aceh.
Berita di media ternyata mempengaruhi alam bawah sadarku. Ketika kejadian di
warung itu, jantungku hampir copot, takut kalau-kalau kami akan diculik oleh
kelompok itu. Dengan hati berdebar, kami menghabiskan makanan di kegelapan
dengan terus waspada kiri kanan.
Setelah menunaikan kewajiban sesuai penugasan
kami ke Aceh, kami berkeliling kota Aceh. Khususnya, melihat sisa-sisa bencana
tsunami. Kami mengunjungi lokasi kapal dengan berat berton-ton yang hanyut dan
terdampar hingga puluhan kilometer dari pantai. Melihat bangkai kapal itu, kita
bisa memperkirakan bagaimana dahsyatnya arus dan kekuatan tsunami saat itu
hingga bisa membawa kapal besar masuk ke tengah kota.
Kami juga ditunjukkan sebuah lapangan, dimana
pagi saat kejadian tsunami, banyak sekali masyarakat yang melakukan aktivitas
olah raga atau sekedar bersenda gurau dengan kerabat keluarga di akhir pekan.
Kami melintasi pinggiran pantai. Seorang
teman bercerita, bahwa dulunya di daerah yang kami lewati adalah sebuah asrama
tentara, yang kini hilang dilanda tsunami. Menatap lautan luas, bulu kudukku
berdiri membayangkan bagaimana ketika kami disitu, tiba-tiba gelombang dan arus
besar menerjang kami.
Tidak kami lewatkan adalah menikmati kuliner Aceh,
diantaranya mie aceh dan beberapa sajian khas lainnya. Di sebuah kedai nasi, aku
mendapati tulisan di pintu, yang membuatku tersenyum. Jika biasanya tertulis “dorong”,
di pintu kedai itu tertulis “tolak”.
Dalam perjalanan menuju bandara untuk kembali
ke Jakarta, kami melintasi kuburan massal, dimana para korban tsunami
dikebumikan. Doaku terpanjat, lahumul
fatihah....
***