Selasa, 25 November 2014

BAHAGIA DI PUCUK SADEL



Ada pasangan suami istri, orang desa yang sederhana, pengen pergi ke kota. Tidak punya sepeda motor. Mereka boncengan naik sepeda onthel. Sepedanya kelihatan tua, sudah karatan. Pedalnya tidak lagi komplit, hanya tersisa besi bagian tengahnya. Kulit sadelnya pun sebagian sudah mengelupas. Sang suami mengayuh sepeda yang terasa berat dengan beban dua orang.

“Krieeet... krieeet... krieeet...”

Tiba-tiba dari belakang menyalip mobil Pasjeroan, tanpa sebelumnya membunyikan klakson.
“Ngeeeengg......wuussss....!”

Hembusan anginnya membuat sepeda yang mereka naiki sedikit oleng. Dengan sigap sang suami bisa menguasai kembali sepedanya. Si istri terlihat makin erat merangkul suaminya. Benar-benar terlihat mesra dan romantis.

“Biarin saja, Mas..., disalip ndakpapa... mobil yang nyalip tadi, paling kreditannya belum lunas.” Kata si istri membesarkan semangat suaminya mengayuh sepeda.

“Iya, Dik.. benar itu. Tadi di belakang mobil, ada stiker “kreditan multifinance”. Seperti di mobil Apansa Kang Paijo.” Ujar sang suami.

“Syukurlah, meski sepeda onthel, tapi kita ndak punya utang ya, Mas...”

Masih puluhan kilometer jalan yang harus mereka tempuh. Tak ada rasa lelah.
“Krieeet... krieeet... krieeet...”

“Lihat, Mas... itu kan, mobil yang nyalip tadi,” kata si Istri sambil menunjuk ke arah halaman Pengadilan Agama.

“Ada apa Dik, ya...jangan-jangan mereka seperti Kang Paijo,” ujar si Suami.
Dua minggu yang lalu, istri Paijo menggugat cerai.

“Awas, Dik.. ada tanjakan, biar ndak jatuh, sini tanganmu pegangan erat di pucuk sadel,” kata si suami cengengesan.

“Ah, Masku ini, bisa aja,” kata si istri sambil cekikikan. 
Ia paham dengan ada apa di pucuk sadel.

***