Senin, 02 September 2013

Gagasan Sistem Baru Pelaksanaan APBN - Bagian II (Ditulis pada akhir tahun 2003)



Seri Teknik Perbendaharaan (8)
(Sungguh berani sekali saya menuliskan sebagai Teknik Perbendaharaan…  Apa yang saya tulis adalah tata cara perbendaharaan jaman dulu atau bisa dikatakan sudah lewat jaman alias kedaluarsa. Namun, saya meyakini teknik atau pengetahuan ini akan berguna pada saatnya nanti, minimal sebagai wasilah untuk bernostalgia…)

Pintu-Pintu KKN dalam Sistem Pelaksanaan APBN Selama Ini (pada saat tulisan ini disusun)


Dari uraian di tulisan bagian pertama, dapat kita telusuri pintu-pintu dalam sistem pelaksanaan APBN yang digunakan untuk melakukan korupsi dan manipulasi.

Pintu pertama, perlu diketahui bahwa DIK/DIP/SKO yang menjadi dasar pelaksanaan APBN disahkan setelah melewati masa pengusulan dari departemen teknis dan pembahasan antara departemen teknis, Departemen Keuangan dan Bappenas. Tak jarang untuk mendapatkan dana yang besar atau meng-gol-kan sebuah proyek, departemen teknis melakukan upaya suap kepada pihak Bappenas dan Departemen Keuangan. Dan gayung pun bersambut.

Pintu kedua, masih dalam tahap pembahasan yaitu munculnya proyek nonfisik yang kegiatannya berupa konsultasi, monitoring, evaluasi atau istilah lain yang hanya merupakan perjalanan dinas. Sementara itu sangat mudah melakukan manipulasi pada Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) dengan memperbesar jumlah hari perjalanan dinas, padahal faktanya hanya 1 hari saja. Bahkan tak jarang satu orang yang melakukan perjalanan dinas dengan membawa setumpuk SPPD teman-temannya atau atasannya untuk dimintakan tanda tangan dari pejabat kantor yang didatangi.

Pintu ketiga, yaitu pada tahap pelaksanaan pencairan dana penggantian UYHD. Sebagaimana mekanisme UYHD diatas, salah satu lampiran SPP-GU adalah kwitansi untuk pengeluaran Rp. 1,5 juta keatas. Pada saat sekarang membuat kwitansi bukan merupakan pekerjaan yang sulit, bahkan tanpa melakukan transaksi jual beli kita bisa mendapatkan kwitansi yang sempurna lengkap dengan cap stempel dan tanda tangan pemilik toko. Atau kalau tidak mau repot, bikin stempel dan tanda tangan sendiri. Ada juga yang lebih bagus "permainannya" yaitu dengan melakukan mark up nilai pengadaan. Dalam hal ini KPKN tidak dapat berbuat banyak karena penelitian/pemeriksaan yang dilakukan hanya sebatas pada kebenaran administrasi dan tidak berlanjut pada pemeriksaan fisik. Jika sudah ada kwitansi dan benar pengisiannya maka sudah dianggap benar dan sah pertanggungjawabannya, meski sebenarnya penggunaan dana tersebut tidak sesuai.

Pintu keempat, sama seperti kwitansi diatas yaitu adanya Surat Pernyataan Tanggung Jawab Belanja (SPTB). Awal munculnya SPTB adalah untuk mempermudah proses pemeriksaan oleh KPKN. Namun telah digunakan sebagai jalan melakukan manipulasi. Dengan adanya SPTB sampai dengan kurang dari Rp.1,5 juta membuat orang lebih senang menggunakannya. Apa susahnya membuat SPTB dengan format yang juga mudah dipahami dan mudah pengisiannya. Pembelian barang yang hanya Rp. 100 ribu dapat saja kita tulis menjadi Rp. 900 ribu. Adalah hal yang tidak sulit melakukannya. Adanya SPTB telah mempengaruhi para bendaharawan untuk melakukan upaya menghindari pajak dengan jalan memecah kwitansi sehingga menjadi kurang dari Rp. 1 juta untuk beberapa kwitansi (untuk nilai dibawah satu juta, tidak ada kewajiban untuk memungut pajak). Untuk mengecoh KPKN, pengajuan SPP-nya dibuat terpisah atau selang beberapa waktu kemudian.

Pintu kelima, yaitu terkait dengan masalah pembayaran langsung yang mempersyaratkan adanya kontrak. Praktek kolusi antara pimpro dengan rekanan sering terjadi. Untuk mempercepat pencairan dana dari KPKN, tak segan-segan pimpro berani mengeluarkan berita acara penyelesaian pekerjaan meski sebenarnya pekerjaan belum selesai. 

Pintu keenam, ini masih terkait dengan pelaksanaan proyek yang dikerjakan oleh rekanan/kontraktor. Yang banyak terjadi di lapangan adalah manipulasi data lelang. Artinya, sebenarnya proyek tersebut secara riil tidak pernah dilakukan proses pelelangan. Namun data-data yang terlampir dalam dokumen kontrak menunjukkan proses pelelangan. Sehingga yang terjadi adalah lelang fiktif. Cara lainnya adalah dari beberapa rekanan yang mengajukan penawaran telah diatur sedemikian rupa sehingga yang memenangkan proses tender adalah rekanan tertentu. Dan hal ini terjadi dengan persetujuan pemimpin proyek. 

(Bersambung.......)