Rabu, 07 Mei 2014

Pancuri : Souvenir Abadi

Dengan usia saya seperti sekarang, sudah banyak peristiwa yang saya alami. Peristiwa-peristiwa yang membawa hikmah bagi kehidupan saya. Ada peristiwa yang sampai saat ini begitu membekas dalam memori, ada juga yang saya sudah lupa sama sekali. Peristiwa yang membekas itu terbagi menjadi : peristiwa yang saya masih ingat betul urutan kejadiannya dan peristiwa yang saya hanya ingat satu cuplik bagiannya saja. Dan satu cuplik itu, sulit untuk saya lupakan. Seperti sudah terpahat dalam memori saya. Yang kadang tiba-tiba melintas dalam benak saya. Itulah kemudian saya menyebutnya sebagai lintasan memori, yang tiba-tiba naik ke permukaan pikiran ketika saya melihat sesuatu atau mendengar sebuah lagu.

Ada banyak lintasan memori, mulai dari peristiwa yang menyenangkan, membahagiakan sampai dengan yang menyedihkan. Ada juga kejadian lucu yang sejurus kemudian membuat saya tersenyum dan ada peristiwa yang membuat saya begitu trauma. Pengalaman traumatis ini yang lantas terus menerus menghantui saya. Tentu ini hal buruk dan tidak boleh mempengaruhi diri saya. Saya ingin melepaskannya atau kalau pun tidak bisa dilepaskan, pengalaman itu tak lagi menakutkan. Saya ingin menjinakkan pengalaman traumatis itu.

Salah satu cara untuk menjinakkan pengalaman traumatis adalah dengan menceritakannya kepada orang lain. Atau bisa juga dengan menuliskannya dan saya memilih ini.  Salah satunya seperti untaian paragraf dibawah ini.

Dan ini adalah pengalaman yang paling traumatis bagi saya. Kemalingan. Ini terjadi ketika saya bertugas di satu daerah di Sulawesi, tepatnya di kaki depan bagian bawah huruf K Pulau Sulawesi. Sejak awal datang,  saya sudah mendengar bahwa ada satu kampung yang para penghuninya adalah para pencuri. Saya tidak begitu percaya, karena saya mengontrak rumah kurang dari satu kilometer dari kampung itu. Saya mengontrak satu bagian rumah milik seorang Polisi Jagawana tepat di bagian samping rumahnya dan berhadapan langsung dengan pintu gerbang rumah Bupati kabupaten itu.

Sore hari sebelum kejadian, saya terpikir tentang kondisi keamanan lingkungan rumah saya. Saya ingat betul pikiran itu sampai sekarang. Begini : setiba di rumah setelah pulang kantor, saya melihat gerbang pintu rumah bupati yang ada di depan rumah saya ditutup dan dipindahkan ke seberang jalan yang agak jauh dengan rumah saya.

Selama itu, sebelum gerbang itu dipindahkan, saya berpikir, rumah saya akan aman-aman saja karena ada satpam penjaga rumah Bupati yang otomatis juga akan ikut mengawasi rumah saya (karena pas di depannya). Ketika saya melihat gerbang itu ditutup, kekhawatiran ketidakamanan itu muncul.

Dan benar, pagi dini hari, rumah saya dimasuki pencuri. Ini memang kesalahan saya. Saya terbiasa tidur di bagian depan rumah dengan jendela yang saya buka sedikit karena panas. Mungkin pencuri sudah mengintainya sejak lama. Saat dini hari, istri hendak ke belakang dan membangunkan saya agar pindah ke kamar untuk menemani anak saya. Saya pun pindah ke kamar yang hanya disekat triplek dengan tanpa pintu. Masih dalam kondisi tidur-tidur ayam, tiba-tiba saya melihat tangan seseorang yang mengambil tas diatas lemari baju disamping tempat tidur dekat pintu kamar (yang tanpa pintu itu). Saya kaget dan berteriak : “maling…. maling… maling….”

Dengan membawa tas, pencuri itu kabur dengan menabrak jendela. Saya kejar dan saya pun ikut menabrak jendela. Saya terus kejar dan hampir saja meraih badannya. Hingga kini, momen itu masih begitu melekat di benak saya. Tapi kemudian dia berbelok di kegelapan menuju jalan raya. Disitu rekannya sudah menunggu dengan sepeda motor. Mereka pun kabur.

Darah bercucuran dari kepala saya. Beberapa luka di kepala karena pecahan kaca jendela yang saya tabrak. Saya pergi ke rumah sakit untuk mendapat beberapa jahitan. Luka itu kemudian membekas di kepala saya dan menjadi sebuah pengingat peristiwa nahas sekaligus souvenir abadi dari tempat tugas saya itu.

Tahukah Anda, apa isi tas yang mereka bawa? Dompet istri, dengan kartu ATM dan kartu-kartu lainnya serta amplop berisi gaji bulanan (masih utuh) yang saya terima siang hari sebelum peristiwa itu. Waktu itu, gaji bulanan belum masuk ke rekening.

Pada saat setelah pencuri itu kabur, para tetangga berhamburan datang karena mendengar keributan dan suara jendela yang pecah. Saya lihat Pak Polisi Jagawana membawa parang panjang mengkilat. Tapi, kenapa saat saya teriak maling, mereka tidak segera keluar. Ternyata jawabannya adalah : mereka tidak mengerti, tidak paham dengan istilah maling, mereka tahunya ‘pancuri’. Apalagi saya berteriak maling dengan logat jawa, sehingga terdengar : malieng…malieng. Oh, ternyata… saya juga yang salah karena kurang memahami bahasa penduduk setempat. Bahwa di daerah itu tidak ada yang namanya maling. Mereka bukan maling, tapi PANCURIIIIIIII…..!!!!!!  (teriakan ini, membuat saya lega)

***