Senin, 14 April 2014

Orang Tua Yang Impresif

Menjadi bapak adalah sebuah amanah dan anugerah bagi saya. Sebagai orang tua, tugas saya mengantarkan anak-anak pada cita-citanya. Saya mengarahkan, memberi rambu-rambu dan tentunya menjaganya agar tidak terkontaminasi dengan virus-virus modernisasi dan teknologi.

Sejauh ini, indikator yang saya gunakan adalah kosa kata yang mereka gunakan dalam percakapan, baik kepada kami atau kepada teman-temannya. Apakah sudah mengandung umpatan, kata kotor, hardikan dan ungkapan yang menyakitkan pihak lain.

Di jaman teknologi saat ini, pengaruh buruk tidak saja hadir dari lingkungan tempat tinggal, lingkungan sekolah tetapi bisa juga dari dalam rumah dengan adanya televisi dan internet. Dari kalimat tersebut, sejatinya saya sudah bisa mengetahui faktor-faktor yang perlu menjadi perhatian saya sebagai orang tua terhadap anak-anak.

Pertama, lingkungan rumah dan sekitar. Saya selalu ingat sebuah pesan “tinggallah di rumah yang dekat dengan mesjid”. Tentu konteksnya adalah saya sebagai seorang muslim. Soal ini saya memiliki pengalaman tersendiri, bagaimana hidup di sebuah lingkungan yang jauh dari Mesjid. Bahkan lebih dari itu, saya berada di lingkungan para penjudi dan pemabuk. Hampir setiap malam, berjarak kurang dari 20 meter dari rumah saya, ada satu tempat nongkrong di depan rumah warga yang digunakan tetangga sekitar untuk berjudi, dan sambil minum-minuman keras. Meski ada untungnya juga yaitu tak mungkin ada pencuri yang berani beraksi di sekitaran tempat nongkrong itu, termasuk rumah saya.

Ada satu cuplik peristiwa yang selalu saya kenang dalam memori saya. Tempat nongkrong, kebiasaan berjudi, mabuk-mabukan telah berpengaruh dan terekam dalam memori anak-anak. Apalagi jika yang dilihat adalah bapaknya sendiri. Ketika seorang warga bertanya kepada seorang anak tetangga yang baru berusia 5 tahun tentang dimana Bapaknya, anak itu menjawab dengan jawaban yang membuat saya kaget. “Bapak tidur, habis ‘mendem’ (mabuk)”. Semoga anak itu sekarang menjadi anak yang baik dan tidak mencontoh kelakuan bapaknya.

Hanya setahun saya tinggal di lingkungan itu dan kemudian saya menetap di sebuah lingkungan yang menurut saya kondusif bagi anak-anak saya. Salah satunya, dekat dengan masjid.

Faktor kedua adalah teknologi. Kami bukan tipe keluarga yang gila dengan gadget. Malah hampir-hampir mendekati gaptek. Tak ada jaringan internet bebas di rumah saya. Semua terkontrol oleh kami. Pornografi yang begitu mudah diakses dengan internet adalah hantu bagi kami. Dan kami tak mau kecolongan.

Bukan berarti anak-anak tidak mengikuti perkembangan teknologi. Cukuplah kami sediakan laptop, tablet beserta game-game yang mendidik tanpa terkoneksi dengan jaringan internet. Kami punya modem. Tapi itu pun sesekali kami gunakan karena tuntutan pekerjaan yang harus kami selesaikan di rumah. Anak-anak tetap mengenal internet, tapi dengan dosis yang terukur dan terkontrol.

Soal internet bukan lagi menjadi masalah bagi kami, tetapi dengan TV, itu yang kadang sulit mengontrolnya. Tak mungkinlah bagi kami menghapus TV dari rumah, sebagaimana anjuran para ustadz-ustadz itu. Mendoktrin anak bahwa TV haram juga bukan pilihan bagi saya. Kami tidak melarang anak-anak menonton TV, tapi kami mengimbanginya dengan menyediakan buku-buku bacaan bermutu, majalah anak, novel dan cerpen. Kami juga pilihkan acara-acara TV yang mendidik. Dan yang pasti kami hanya menyediakan channel TV nasional. Belum saatnya untuk berlangganan TV kabel dengan siaran luar negeri yang kadang bebas sensor.

Faktor ketiga, lingkungan sekolah.  Memang, untuk mendapatkan lingkungan sekolah yang kondusif membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Ada investasi pendidikan yang sebagian masyarakat tidak mampu untuk membayarnya. Pilihan saya adalah sekolah dengan basis pendidikan agama yang terpadu. Anak-anak membutuhkan pondasi iman dan mental yang kuat. Dan saya melihatnya ada pada sekolah-sekolah seperti itu.

Faktor keempat, orang tua. Kami menyadari bahwa kami adalah figur contoh bagi anak-anak.  Tak ada kalimat kotor, umpatan dalam keluarga kami. Tak ada asap rokok dalam rumah kami, karena saya juga tidak merokok. Bahwa saya gemar membaca dan menulis, anak-anak saya mengetahui dan mencontohnya. Bahwa saya sholat berjamaah di masjid, anak-anak saya ikut berjamaah di masjid. Bahwa saya berdisiplin dengan waktu, anak-anak saya juga demikian. Ada cerita-cerita tentang kejayaan masa lalu kami di sekolah untuk memotivasi mereka.

Lebih dari semua itu adalah perhatian kami kepada anak-anak. Kami mendengarkan cerita mereka. Saya mendengarkan keluhan mereka. Saya mendengarkan protes mereka dan meresponnya. Dan sesekali kami memenuhi tuntutan mereka yang tentunya sebuah tuntutan yang menurut kami baik bagi mereka. Ada saatnya kami berlibur bersama keluar kota. Adakalanya kami bersama-sama ke toko buku dan ada waktunya kami bersilaturahmi kepada sanak keluarga. Intinya adalah bagaimana menciptakan home sweet home bagi anak-anak agar mereka tidak lari dari kami. Agar mereka tidak lari kepada internet, lari kepada facebook/twitter atau lari mencari tempat curhat lainnya.

Dan kesimpulannya adalah bagaimana kita menjadi orang tua yang impresif bagi anak-anak. Orang tua yang mengesankan bagi anak-anak kita.

***