Rabu, 07 Mei 2014

Antisipasi Permasalahan Implementasi Sistem MPN G-2

Saya mencoba menginventarisir beberapa permasalahan dari pelaksanaan MPN G-2, sekaligus berusaha memberikan usul solusinya. Tulisan ini melengkapi tulisan saya sebelumnya yang berjudul  "Saya Bermimpi : Tugas KPPN Pasca MPN G-2".

Pertama, beberapa pengguna layanan khususnya bendahara dengan NPWP yang mereka miliki hanya menampilkan satu pilihan jenis pajak yang dapat mereka setor, yaitu PPh pasal 21. Ada konfirmasi dari pihak kantor pajak bahwa kemungkinan hal itu terjadi karena NPWP yang sudah lama terdaftar dan belum diupdate pada sistem biller di DJP.

Langkah antisipasi yang perlu disiapkan adalah layanan atas pengaduan tersebut termasuk permasalahan lainnya, kemana harus dilayangkan? Mengingat hal tersebut terkait penerimaan pajak, sebaiknya menjadi tanggung jawab pihak kantor pajak. Kantor pajak dapat melakukan inventarisasi NPWP khususnya NPWP bendahara yang mengalami permasalahan tersebut. Atau bisa jadi melakukan sinergi dengan KPPN yang dalam hal ini lebih memiliki kedekatan hubungan dalam kaitannya dengan pelaksanaan tugas bendahara. Artinya : KPPN melakukan inventarisasi NPWP bendahara yang bermasalah kemudian melakukan koordinasi dengan kantor pajak setempat untuk ditindaklanjuti.

Jauh lebih bagus, jika pada sistem biller DJP dapat secara otomatis dan serentak mengupdate seluruh NPWP bendahara tanpa harus melakukan inventarisasi lebih dahulu. Jika SDM dan sistem memungkinkan , hal itu akan lebih baik dan lebih cepat mengatasi permasalahan tersebut.

Kedua, permasalahan terkait konfirmasi surat setoran. Disebutkan dalam PMK 190/PMK.05/2012 Pasal 52 ayat (2), disebutkan bahwa Penerbitan SPP-GUP dilengkapi dengan dokumen pendukung, salah satunya adalah SSP yang telah dikonfirmasi KPPN

Dalam Pasal 68 juga disebutkan untuk penyampaian SPM-UP/TUP/PTUP/GUP/GUP Nihil/LS dari dana yang bersumber dari PNBP kepada KPPN dengan dilampiri, salah satunya adalah bukti setor PNBP yang telah dikonfirmasi oleh KPPN.
Permasalahannya adalah aplikasi konfirmasi di KPPN selama ini mengacu pada database lokal dari data penerimaan negara yang disampaikan oleh bank persepsi kepada KPPN. Dengan MPN G-2, KPPN setempat tidak lagi menerima ADK penerimaan negara dan database penerimaan langsung tersentral di pusat. Sehingga, jika terdapat setoran penerimaan negara dengan MPN G2, KPPN tidak dapat memberikan konfirmasi.

Solusinya adalah aplikasi konfirmasi KPPN agar dibuat terhubung dengan database penerimaan pusat. Jika ini dilakukan, yang perlu dipikirkan adalah kecepatan akses data agar tidak mengganggu layanan konfirmasi dan layanan KPPN lainnya. Atau pada saatnya nanti disediakan suatu aplikasi monitoring peneriman negara pada KPPN, dimana dengan menginput NTPN, KPPN dapat melihat bahwa setoran dengan NTPN tersebut sudah masuk ke kas negara.

Solusi yang lain adalah bank persepsi setempat masih diwajibkan untuk menyampaikan laporan setoran penerimaan negara kepada KPPN setempat. Dengan laporan tersebut KPPN memiliki data untuk bisa memberikan konfirmasi. Apakah konfirmasi dilakukan secara aplikasi atau manual, dapat diatur kemudian. Yang terpenting KPPN setempat sudah memiliki data penerimaan. Tetapi ini juga masih akan mengalami kendala jika ternyata penyetor melakukan setoran pada bank persepsi di luar kota atau melalui ATM, dimana MPN G2 memungkinkan hal tersebut.

Solusi yang lainnya lagi adalah semua setoran MPN G2 sudah otomatis diyakini kebenarannya, sehingga tak perlu lagi adanya konfirmasi dari KPPN. Dalam hal ini, perlu payung hukum untuk menegaskan hal tersebut.

Ketiga, permasalahan terkait rekonsiliasi data setoran PFK antara KPPN dengan BPJS dan Taspen. Setiap bulan KPPN menyampaikan data PFK kepada BPJS dan Taspen dan melakukan rekon data secara periodik. Data PFK meliputi data dari potongan SPM dan setoran PFK yang dilakukan oleh Pemda untuk PNS daerah. Jika Pemda sudah melakukan penyetoran PFK melalui MPN G2, maka KPPN setempat tidak akan memiliki data setoran PFK, karena data langsung tersentral di pusat. KPPN hanya dapat memberikan data PFK dari potongan SPM.

Solusinya adalah sebagaimana pada poin kedua diatas, yaitu bank persepsi tetap menyampaikan data penerimaan kepada KPPN setempat. Boleh juga khusus untuk PFK, diatur tersendiri, artinya untuk setoran PFK, bank persepsi wajib menyampaikan laporan ke KPPN dilampiri copy BPN.

Atau untuk selanjutnya penyampaian data dan rekon data KPPN dengan BPJS dan Taspen disetiap daerah ditiadakan dan dibuat secara terpusat atau tersentral di Jakarta. Apalagi dengan diterapkannya SPAN, dimana seluruh data pengeluaran negara secara terpusat.

Keempat, masalah pelaporan pajak yang harus melampirkan SSP lembar ketiga. Jika sudah melakukan penyetoran dengan MPN G2, tak ada lagi SSP berlembar-lembar. Maka solusinya adalah dengan melampirkan copy SSP elektronik (hasil cetakan MPN G2) dan BPN. Agar tidak membingungkan pihak bendahara, agar segera diantisipasi ketentuan terkait pelaporan pajak yang telah menggunakan setoran MPN G2.

Kelima, ini lebih kepada masalah teknis aplikasi.  Yaitu, alamat email yang sudah terlanjur didaftarkan pada saat registrasi khususnya pada  registrasi di sistem pajak, tidak bisa diganti. Ini akan sangat menyulitkan jika terjadi kesalahan pada saat perekaman alamat email. Atau tidak selamanya seseorang tersebut menjadi bendahara. Ada penggantian petugas dan biasanya mereka memiliki email sendiri. Proses penggantian perlu dipermudah tanpa harus meghubungi pihak admin aplikasi.

Masalah teknis lainnya adalah untuk sistem pajak, tidak tersedia kolom atau baris untuk perekaman peruntukan setoran pajak. Ini tentu juga akan menambah pekerjaan pihak bendahara. Artinya bendahara harus memilah atau memberikan uraian tambahan secara manual pada SSP elektronik atau BPN terkait peruntukan setoran pajak tersebut. Peruntukan setoran pajak tersebut diperlukan karena terkait pelaporan pemotongan pajak atas suatu transaksi.

Keenam, permasalahan dalam pembuatan kode billing, dimana diperlukan akses jaringan internet dan alamat email. Tidak semua kalangan masyarakat memilikinya, atau beberapa kalangan masyarakat juga enggan untuk menghafal user password. Atau lebih jelasnya, ada masyarakat yang tidak mau repot. “Mau bayar pajak kok malah dibuat repot”.

Agar MPN G2 dapat berjalan efektif bagi kalangan tersebut, perlu disediakan layanan khusus untuk pembuatan billing, baik layanan yang berbayar atau layanan gratis. Layanan gratis mungkin dapat diberikan oleh KPPN khususnya untuk setoran PNBP sedangkan untuk setoran pajak oleh kantor pajak. Atau dapat juga bersinergi kedua-duanya, artinya KPPN dan kantor pajak menyediakan layanan gratis pembuatan kode billing.

Untuk yang berbayar, mungkin dapat diberikan ijin kepada pihak swasta atau pihak bank persepsi untuk menyediakan layanan pembuatan kode billing dengan tarif yang telah ditetapkan pemerintah.

Ketujuh, penggunaan ATM oleh bendahara dalam penyetoran penerimaan negara. Apakah ini memungkinkan mengingat rekening bendahara adalah rekening giro, dimana untuk proses pengambilan uang harus menggunakan cek dengan dua orang yang bertandatangan.

Dari pihak bank sebenarnya rekening giro tetap memungkinkan untuk diberikan ATM, tetapi perlu diantisipasi penyalahgunaannnya. Atau memang dalam hal ini, dibuat penegasan bahwa bendahara hanya dapat melakukan penyetoran dengan MPN G2 melalui teller. Apakah jika menggunakan ATM pribadi memungkin hal tersebut, artinya bendahara membayar ke pribadi lalu pribadi itu melakukan penyetoran melalui ATM. Saya kira dalam hal ini bendahara harus melakukan pencatatan/pembukuan atas aliran dana ke pribadi dalam rangka penyetoran pajak tersebut. Namun, akan lebih bagus jika hal ini diatur lebih lanjut.

Kedelapan, permasalahan terkait sosialisasi. Saya kira perlu adanya penegasan kembali terkait kewenangan pelaksanaan sosialisasi khususnya kepada pihak masyarakat umum. Saya belum melihat sosialisasi yang masif terkait Sistem MPN G-2 ini. Baik spanduk dan brosur belum tersedia secara luas. Petunjuk praktis juga perlu disediakan.

Khususnya kepada Pemda, perlu adanya penegasan apakah KPPN harus melaksanakan sosialisasi kepada mereka, mengingat perintah sosialisasi baru kepada kantor mitra kerja. Artinya tidak termasuk ke Pemda. Bukan hanya soal perintah, tetapi menyangkut juga soal biaya sosialisasi.


***