Kamis, 23 Oktober 2014

Kata-Kata Bukanlah Bendanya



Hari-hari ini terasa sungguh melecehkan bagi sebagian besar rakyat yang dihidup di alam nyata. Disaat rakyat bergelut dengan kekeringan, kabut asap, inflasi harga kebutuhan pokok, ternyata berita yang heboh tidak lebih dari sekedar urusan politik dan bagi-bagi kursi. Dan sungguh naïf, ribut-ribut politik yang muncul di media massa atau televisi, hampir-hampir semua berasal dari postingan, ocehan, serta rumor yang beredar di alam maya, di media sosial. Berapa sebenarnya presentase pengguna media social? Saya kira hanya mereka yang terhubung dengan internet saja. Sementara masih banyak rakyat negeri ini yang belum mengecap manfaat internet.
Anehnya, kita mempersepsikan seolah-olah apa yang berkembang di media sosial adalah aspirasi rakyat. Padahal sesungguhnya bukan.
Jika ditelisik, media sosial sebenarnya tak lebih dari suara-suara yang kadang tidak bertanggung jawab atas informasi yang dibagikan. Karena memang itulah kelebihan dari media sosial yang tanpa perlu berhadapan langsung dengan audience, bisa menembakkan amunisi tanpa harus peduli bahwa itu menyakitkan, membunuh dan menghabisi pihak lain. Tak sedikit yang menganggap bahwa itu adalah pekerjaan para pecundang yang tidak berani hadir dan bersuara di depan massa. Akun anonim berkembang, akun-akun palsu yang menyebar fitnah juga menyeruak.
Yang lebih memprihatinkan adalah orang dengan enteng dan senang mem-bully pihak lain. Belum lagi dengan ulah media mainstream yang ikut-ikutan memberitakan hingga akhirnya berkembang di masyarakat dan mempengaruhi opini publik. Kira-kira begitulah yang terjadi saat ini. Semua hanya berasal dari rumor di media sosial yang kemudian diangkat oleh media mainstream dan jadilah konsumsi masyarakat.
Sesuatu yang sebenarnya kecil tetapi dibesar-besarkan hingga kemudian menjadi besar, namun sesungguhnya wujud nyatanya tetap saja kosong. Tak berarti sama sekali bagi kehidupan masayarakat, tak punya relevansi bagi kesejahteraan mereka. Karena yang terjadi sebenarnya hanya olok-olok, gurauan yang tidak serius dan ditanggapi dengan sangat serius oleh pihak lain.
Boleh jadi semua berawal dari kalimat “Kita bikin rame!”. Dan akhirnya memang menjadi heboh dan menyebar bagai epidemi yang merusak sendi-sendi kesehatan jiwa masyarakat.
Maka, adalah kewarasan nalar yang mampu menyaring semua berita dan informasi, apakah ini berguna, bermanfaat bagi kehidupan ataukah hanya sampah yang hanya memenuhi otak kiri dan mengotori otak kanan.
Ungkapan “kata-kata bukanlah bendanya” menjadi sangat relevan untuk menetralisir semua berita dan rumor yang berkembang. Itu menjadi saringan bagi otak dan pikiran kita dan tidak secara otomatis menganggap bahwa apa yang kita dengar, informasi yang kita baca dan video yang kita lihat adalah kenyataan sebenarnya. Bahkan video pun hanya berupa potongan peristiwa karena keterbatasan durasi dan tidak menayangkan secara utuh sebuah peristiwa. Itu pun hanya dari satu sudut karena keterbatasan teknologi yang belum mampu merekam dan menampilkan seluruh dimensi.
Tujuan dari semuanya adalah kemenangan atas perang opini. Ketika kita menerima dan bertekuk lutut atas opini yang dikembangkan media, maka sesungguhnya kita telah kehilangan tenaga, tak mampu lagi berpikir, kehilangan prioritas hidup dan tak sanggup lagi melawan arus. Dan kita pun hanyut bagaikan sampah.

***