Rabu, 15 Oktober 2014

Doa tidak sampai, tapi marah didoakan mendapat keburukan



Malam itu, seorang anak muda berjenggot dengan baju takwa warna putih dan celana diatas mata kaki, bertamu ke rumah Pak Kyai. Ia resah dengan kondisi masyarakat sekitarnya yang masih mengamalkan tahlil, haul atau mendoakan orang yang sudah meninggal dunia. Dari kitab yang ia pelajari, perbuatan itu merupakan amalan bid’ah yang tidak pernah diajarkan oleh Rasul SAW. Meski sebenarnya masih ada kitab lain yang berpandangan sebaliknya. Tapi, rasanya tidak mungkin ia akan membaca kitab itu, karena bukan dikarang oleh tokoh kelompoknya.
Sejatinya, anak muda itu asli warga dusun itu, tetapi sudah puluhan tahun merantau ke kota besar dan baru sebulan lalu ia kembali ke kampung halamannya. Rupanya di perantauan ia mendapatkan pencerahan bergabung dengan suatu kelompok pengajian. Ia menemukan sesuatu yang berbeda dengan yang diajarkan oleh Pak Kyai di kampungnya.
Setelah diterima Pak Kyai dan berbasa-basi, mulailah ia menyampaikan maksud kedatangannya.
“Pak Kyai, apa dalil untuk amalan tahlil dan mendoakan orang yang sudah meninggal dunia. Dari kitab yang saya baca, itu tidak ada dalilnya. Itu perbuatan bid’ah, Pak Kyai...”
“Tahlil dan doa tidak akan sampai kepada orang yang sudah mati.” Ia mencecar Pak Kyai dengan pertanyaan retoris dan pendapatnya.
Pak Kyai sudah sangat paham dengan apa yang anak muda itu maksudkan. Sebenarnya, sudah sejak lama ia malas meladeni tuduhan-tuduhan seperti itu. Ia enggan berdiskusi, berdebat soal itu. Ia sudah tahu tak akan mungkin mempertemukan dua pandangan tentang amalan tahlil dan haul. Dengan bijaksana ia mengajak untuk lebih baik saling menghormati dan tidak perlu saling menuduh bid’ah atau sesat.
“Kalau pun saya sampaikan dalilnya, kamu pasti tidak akan juga menerima. Lebih baik kita menghormati pilihan kita masing-masing.”
Ndak usahlah menuduh kami melakukan bid’ah dan sesat.”
“Apa yang kami lakukan sudah dikerjakan sejak jaman para Wali dan Kyai-Kyai sepuh dulu. Masak mereka sesat.”
“Betul, Pak Kyai…,” ujar anak muda itu.
“Tapi, itu semua tidak pernah diajarkan oleh Rasul dan tidak ada dalilnya. Kalau memang ada dalilnya, mana coba tunjukan pada saya.”
“Tahlil dan doa itu tidak akan sampai kepada orang yang sudah meninggal dunia. Jadi, itu merupakan perbuatan yang sia-sia.”
Karena terus-terusan didesak, akhirnya Pak Kyai merasa jengkel juga.
“Baiklah kalau begitu. Saya ingin tanya, orang tuamu masih hidup?” Tanya Pak Kyai.
“Ibu saya masih, bapak saya sudah meninggal,” jawab anak muda itu.
“Jadi bapakmu sudah wafat. Kalau begitu, saya berdoa semoga di alam kubur, bapakmu dipukuli, ditendang-tendang dan dihajar oleh malaikat.”
Anak muda itu terperanjat, kaget dan tidak menyangka dengan ucapan Pak Kyai.
Kok begitu, Pak Kyai. Kok malah mendoakan bapak saya dipukuli, dihajar oleh malaikat.”
Anak muda itu tersulut kemarahannya. Pak Kyai kemudian menjawab.
“Lha, tadi kamu bilang: tahlil atau doa itu tidak akan sampai kepada orang yang sudah mati. Kalau tidak sampai, kenapa juga kamu marah kalau saya berdoa begitu.”
Wajah anak muda itu merah padam. Entah marah atau karena malu. Sesaat kemudian ia langsung pamitan. Bahkan tak lagi mengucap salam.

***