Rabu, 16 April 2014

Speed

Yak… Kecepatan! Inilah yang dibutuhkan di jaman ini. Komputer dengan prosessor yang cepat, akses internet yang cepat, transportasi yang cepat dan layanan yang cepat. Seolah kita berlomba dengan waktu, berlomba dengan sesama dan berlomba untuk mencapai tujuan. Ada slogan : "siapa cepat, dapat". Beberapa tokoh menggunakan slogan cepat ini meski dengan idiom lain. Kita ingat ada Pak JK yang waktu itu berslogan : "lebih cepat lebih baik". Ada lagi, iklan Pak Dahlan Iskan dengan ungkapan : “das des set set wuet….”.

Dalam segala macam strategi untuk mengalahkan lawan, kecepatan menjadi bagian strategi utama. Baik dalam pertandingan sepak bola, tinju apalagi balapan mobil atau sepeda motor.  Kecepatan juga sudah menjadi tuntutan semua orang. Kalau kita memesan makanan di restoran, sering kita bilang kepada pelayan : “gak pake lama” alias cepat. Orang akan kesal dengan antrian panjang karena itu menandakan layanan yang lambat. Apalagi dengan macet di jalanan. Orang menjadi stress karena akan sangat terlambat sampai pada tujuan.

Menjadi pribadi yang cepat adalah sebuah keunggulan. Dalam hubungannya dengan pekerjaan, pimpinan pasti menginginkan sesuatu yang cepat dikerjakan dan pekerjaan yang segera diselesaikan. Pimpinan senang dengan anak buah yang cepat bertindak dan segera menyampaikan laporan.  Dari pengalaman mempunyai beberapa atasan, saya berkesimpulan, semuanya mementingkan kecepatan. Malah ada sebagian yang memilih pada ungkapan ini : yang penting cepat, salah belakangan. Soal salah bisa dikoreksi.

Tentu ada yang berkilah, apa gunanya cepat kalau salah. Karena itu, suatu yang ideal adalah cepat dan tepat. Tetapi, yang perlu kita ingat adalah dalam proses pengambilan keputusan -dimana kita tidak tahu apakah keputusan yang dipilih nantinya tepat atau salah-  sama sekali kita tidak dapat memastikan. Kita hanya bisa menganalisis  dan memprediksi, kira-kira langkah yang kita putuskan sudah tepat. Dalam konteks seperti ini, yang seringkali harus berlomba dengan waktu -karena waktu juga sering menjadi faktor determinasi- kecepatan menjadi sangat penting. Saya kira, pilihan “yang penting cepat” bukan berarti kita abai terhadap ketepatan. Kecermatan dan ketepatan diupayakan bisa berbarengan dengan kecepatan ini. Kecepatan tanpa peduli dengan ketepatan akan mengarah pada istilah grusa-grusu, gedebak-gedebuk.

Apalagi dalam pekerjaan yang bersifat klerikal, kecepatan menjadi sangat dibutuhkan. Pekerjaan klerikal kerapkali merupakan rangkaian yang bersifat estafet, satu unit baru bekerja setelah ada penyerahan pekerjaan dari unit lain. Keterlambatan pada satu unit otomatis akan berakibat pada unit lainnya.

Dalam banyak contoh membuktikan bahwa kecepatan menjadi penting. Keputusan yang tepat tetapi diambil terlambat  seringkali kehilangan momen dan menjadi tidak berarti. Keterlambatan menangani suatu masalah sering berdampak pada munculnya masalah lain. Dalam konteks ini ungkapan alon-alon waton klakon, sudah menjadi tidak relevan lagi.

Lalu, bagaimana menghasilkan kecepatan atau faktor apa saja yang mempengaruhi kecepatan dalam bekerja?

Pertama, kecepatan dihasilkan dari upaya antisipatif. Suatu pekerjaan yang sudah diantispasi permasalahannya, akan segera cepat ditangani, karena kita sudah menyiapkan solusinya. Proyek atau sistem baru yang akan diimplementasi selalu lebih dahulu dilakukan simulasi dan ujicoba untuk mengetahui permasalahan yang akan muncul di lapangan. Dengan lebih dulu mengetahui permasalahan , maka solusi dapat disiapkan sejak awal.

Kedua, saya menyebutnya semangat. Tanpa semangat, kita menjadi malas dalam hal apa saja. Apalagi dalam bekerja, semangat perlu dijaga. Semangat erat kaitannya dengan target dan tujuan. Tanpa target dan tujuan yang jelas, sedikit banyak akan berpengaruh pada semangat kerja. Bekerja tanpa tujuan akan menimbulkan kebingungan, karena tidak ada arah yang jelas. Sebuah kebingungan tanpa penjelasan, orang akan memilih untuk berhenti di tengah jalan. Atau ia akan berjalan pelan sambil menunggu adakah arah tujuan yang jelas.

Semangat juga dipengaruhi oleh motivasi kerja, berupa materi atau non materi. Cobalah sesekali memuji bawahan yang cepat dan tepat menyelesaikan pekerjaan. Ia akan bersemangat dan itu akan memberikan dorongan bagi dia untuk bekerja dengan cepat dan baik.

Ketiga, kecepatan sangat dipengaruhi oleh pengetahuan atau informasi. Untuk menyusun sebuah proposal proyek atau kegiatan, informasi terkait proyek tersebut harus kita miliki. Tanpa itu, kita tidak bisa menuliskan apapun tentang proyek tersebut.  Dan hasilnya proposal akan sangat lama diselesaikan. Menyusun sebuah peraturan juga demikian. Pengetahuan dan informasi terkait pokok yang akan diatur sangat mendukung kecepatan dalam menyusun sebuah peraturan.

Keempat, sistem kerja. Maksud saya adalah ada di beberapa unit pemerintah yang sebenarnya memiliki volume pekerjaan yang relatif sedikit. Tetapi, disana juga menerapkan kerja lembur. Beberapa pekerjaan yang sebenarnya bisa diselesaikan pada jam kerja normal, dialihkan atau ditunda penyelesaiannya pada saat kerja lembur. Tujuannya adalah agar pada waktu kerja lembur itu, ada pekerjaan yang diselesaikan. Mestinya, pekerjaan yang bersifat rutin dan bisa diselesaikan pada jam kerja normal  harus segera diselesaikan.  Peralatan juga menjadi bagian dari sistem kerja ini. Akses jaringan internet yang lemot sering berdampak pada lambatnya penyelesaian pekerjaan.

Kelima, Kebiasaan. Bertindak cepat, bekerja cepat merupakan kebiasaan yang tidak semua orang mempunyainya. Orang yang memiliki kebiasaan berdisiplin dengan waktu, biasanya mempunyai kebiasaan bekerja dengan cepat. Sebaliknya, orang yang sering terlambat masuk kantor, sebagian besar mereka adalah orang-orang yang lambat dalam bekerja. Ini berdasarkan apa yang saya amati selama ini. Mereka adalah orang yang santai dalam bekerja. Mereka tiba di kantor pada jam-jam yang sudah mepet dengan batas waktu. Setelah mengisi daftar hadir, mereka pergi ke kantin untuk sarapan, kira-kira satu sampai satu setengah jam karena sambil ngobrol ngomongin segala macam kisah hidup. Sekitar jam 9 sampai 10, mereka baru kembali ke ruangan untuk menyelesaikan pekerjaan. Biasanya tidak langsung bekerja, tetapi lebih dulu cek email, cek facebook, update status dan cek berita.

Ada satu istilah jawa yang menggambarkan seseorang yang begitu sangat lambat dalam bertindak, yaitu “mulek”. Ada orang dengan cap begitu. Disaat semua orang sudah menunggu dia untuk pergi bersama ke sebuah tempat, dia masih juga belum siap. Masih mandi, masih dandan, masih sarapan, dll. Kadang tipe begini ini yang membuat kita jengkel. Begitu juga dalam bekerja. Pimpinan akan jengah menanti pekerjaan bawahan yang tak kunjung diselesaikan.

Keenam, pola pikir.  Ada ungkapan “kalau bisa diperlambat, kenapa dipercepat?”. Inilah yang terjadi di lingkungan birokrasi jaman dulu. Sekarang, mungkin sebagian juga masih begitu. Sudah begitu mempola dalam alam pikiran. Maka, tugas orang-orang muda untuk mengubahnya. Mestinya ungkapan itu dibalik atau diganti dengan “kalau bisa segera diselesaikan, kenapa mesti ditunda”.

Ketujuh, latihan. Kecepatan membutuhkan latihan, sebagaimana atlet lomba lari atau balap motor, dia harus berlatih setiap hari. Dari latihan itu, biasanya akan tumbuh menjadi kebiasaan. Jadi faktor ini masih berkaitan dengan faktor kelima diatas. Ada korelasi antara latihan dan kebiasaan. Para pimpinan perlu sesekali melatih anak buahnya untuk bekerja dengan cepat dan tepat. Hal ini bisa dilakukan dengan memberikan batas waktu penyelesaian. 

Dan begitu juga dengan menulis. Menulis membutuhkan banyak latihan. Dan tulisan ini adalah latihan saya.

***