Rabu, 09 Januari 2013

Agar Kinerja PNS Menjadi Lebih Balk


Sebuah kesimpulan bahwa kinerja PNS masih rendah adaIah diambil dari proses generalisasi. Artinya tidak semua PNS rendah kualitasnya. Ada banyak tenaga-tenaga muda PNS yang handal, penuh inovasi dan kreatif. Dan yang satu ini jarang terdengar. Rupanya ada juga pemilahan di kalangan masyarakat antara PNS Dosen dengan PNS yang bekerja di kantor. Sehingga dapat dikatakan bahwa selama ini yang menjadi sorotan adalah PNS yang bekerja pada kantor-kantor pemerintah dan para guru.

Banyak faktor yang mempengaruhi kinerja PNS. Faktor pertama yang sering diulang-ulang adalah faktor gaji. Dikatakan gaji PNS masih rendah. Jika yang dipakai adalah ukuran kota besar seperti Jakarta, maka hal itu benar adanya. Akan tetapi, hal ini tidak dapat disamaratakan. Di daerah, status PNS menjadi dambaan masyarakat dan terhormat.

Di satu daerah Sulawesi dimana saya pernah bertugas, gaji PNS masih diatas rata-rata penghasilan kebanyakan masyarakat. Ada seorang teman yang baru pindah dan akan memasukkan anaknya ke sebuah SD yang tergolong favorit di daerah tersebut. Dia heran dan bertanya pada gurunya, kenapa bayaran sekolahnya kecil sekali, jangan-jangan nanti anaknya tidak mendapatkan pendidikan yang layak hanya gara-gara bayaran yang kecil. Ternyata jawaban guru tersebut menjelaskan bahwa sekolah tidak tega menerapkan bayaran yang tinggi, karena kebanyakan masyarakat masih berpenghasilan dibawah rata-rata gaji PNS.

Bukan berarti saya tidak setuju dengan kenaikan gaji. Tetapi yang perlu dipertimbangkan adalah kenaikan gaji PNS tidak harus merata di seluruh daerah. Saya khawatir, kenaikan gaji PNS yang hampir setiap tahun memicu sentimen di kalangan buruh dan petani. Apalagi selama ini nasib petani selalu apes. Disaat sedang panen, harga komoditasnya ajlok drastis. Akibatnya mereka sangat kecewa dengan pemerintah, dimana didalamnya adalah kumpulan pejabat dan PNS.

Saya mengusulkan adanya tunjangan kemahalan yang didasarkan pada tingkat inflasi di masing-masing daerah. Selama ini ada istilah tunjangan irian jaya dan tunjangan daerah terpencil. Tetapi ini tidak memunculkan asas keadilan karena ternyata di daerah yang jelas-jelas terpencil seperti Binongko atau daerah lainnya, PNS tidak mendapatkan tunjangan daerah terpencil karena tidak ada keputusan pemerintah bahwa daerah tersebut terpencil. Ini mungkin terkait dengan gengsi pemerintah daerah yang tidak mau dikatakan daerahnya terpencil.

Saat masih bertugas di satu daerah di Sulawesi, saya pernah mempunyai tetangga yang baru pindah dari Jayapura. Dia mengeluh ternyata barang-barang sembako di daerah tersebut lebih mahal dibandingkan dengan di Jayapura padahal di daerah tersebut, PNS tidak mendapatkan tunjangan kemahalan seperti tunjangan irja.

Jadi kesimpulannya adalah seorang PNS yang hidup di Jakarta dengan gaya bidup pas-pasan akan menjadi berlebih jika ia dipindahkan ke daerah-daerah di Jawa Tengah dengan gaji yang sama. Atau dari wilayah Indonesia timur ke pulau Jawa. Untuk itu perlu rasanya dirumuskan kembali sistem penggajian yang lebih adil yang mempertimbangkan antara lain tingkat inflasi di daerah, tingkat kesulitan transportasi dan tingkat pendapatan masyarakat setempat.

Faktor kedua adalah tidak meratanya volume pekerjaan. Ada beberapa instansi yang mempunyai volume kerja tinggi bahkan harus kerja lembur. Tetapi di kantor lain hampir tidak ada pekerjaan. Salah satu ciri beban kerja instansi pemerintah adalah tidak setiap hari ada pekerjaan. Artinya di minggu-minggu tertentu pekerjaan menumpuk tetapi di minggu-minggu berikutnya hampir tidak ada pekerjaan. Saya kira tidak ada yang perlu disalahkan karena memang begitulah ciri khas beban kerja instansi pemerintah. Saya mengusulkan, bagi instansi yang memiliki volume kerja sedikit adalah lebih baik untuk ditiadakan dan digabung dengan instansi lainnya. Kecilnya volume kerja telah berpengaruh pada mentalitas dan kreativitas PNS. Di beberapa instansi pada jam-jam kerja, para PNS terlihat hanya duduk-duduk mengobrol, nonton TV, main catur dsb. Kita juga tidak bisa menyalahkan PNS, karena penyebabnya adalah kecilnya volume kerja. Bila hal ini terus dibiarkan akan berakibat pada keputusasaan dan kemalasan di kalangan PNS.

Faktor ketiga adalah masalah kepegawaian. Aturan kepegawaian yang telah tertata bagus kadang tidak berjalan sebagaimana mestinya. Salah satu penyebabnya adalah oknum yang menyalahgunakan jabatan untuk mendapatkan keuntungan. Salah satu persoalan kepegawaian adalah soal perpindahan pegawai. Apalagi setelah otonomi daerah. Bukan main susahnya mengurus perpindahan pegawai antar daerah. Terutana bagi para PNS daerah. Mulai dari mengurus kesediaan bupati/gubernur untuk melepas, sampai dengan mendapatkan kesanggupan bupati/gubernur daerah yang dituju untuk menerima pegawai tersebut. Ini tentu menjadi persoalan pelik yang bisa membuat stres pegawai jika sistem atau mekanisme surat menyurat tidak berjalan sebagaimana mestinya. Tidak adanya jaminan bahwa urusannya akan selesai dengan menyerahkan semuanya pada mekanisme surat-menyurat yang ada, telah berakibat adanya uang pelicin, pungli dsb. Seorang PNS harus mengikuti kemana surat itu berjalan untuk diselesaikan. Sehingga tidak sedikit ongkos yang dikeluarkan untuk mengurus perpindahan pegawai. Di beberapa instansi hal ini juga terjadi bukan hanya untuk mengurus pindah, tetapi juga pada kenaikan pangkat, kenaikan jabatan, prajabatan, dsb.

Di satu unit eselon I sebuah kementerian, hampir dua tahun sekali seorang pejabat, untuk kepentingan dinas, harus pindah dari suatu daerah ke daerah lain. Misalnya ia mempunyai istri seorang guru SD yang notabene adalah PNS daerah. Dengan kondisi mekanisme pindah saat ini, tentu akan menyulitkan bagi dia jika setiap 2 tahun harus mengurus kepindahan istri dengan birokrasi yang cukup panjang. Maka diputuskan selama itu pula ia berjauhan dengan keluarganya. Tentu, menyarankan agar istrinya keluar dari PNS adalah bukan sebuah saran yang bijaksana dan jelas melanggar hak sang istri sebagai seorang manusia untuk beraktualisasi melalui pekerjaan. Keberhasilannya menjadi PNS adalah sebuah prestasi hidup yang pantas dihargai karena telah melalui seleksi yang ketat.

Faktor keempat adalah kurangnya penghargaan bagi PNS yang berprestasi. Biasanya penghargaan yang diberikan kepada PNS adalah berdasarkan ukuran masa kerja. Sehingga PNS yang mendapatkan penghargaan adalah PNS yang sudah berusia tua dan akan segera memasuki masa pensiun. Akibatnya penghargaan tersebut hanya tinggal sebuah pigura yang dipasang di ruang tamu. Penghargaan ini tidak memacu kinerja PNS karena mereka telah menyadari sebentar lagi akan pensiun. Kita memang seharusnya menghargai para PNS yang telah mengabdi selama bertahun-tahun. Tetapi tentunya ini berbeda jika penghargaan tersebut juga diberikan kepada PNS muda yang kreatif dan inovatif. Dia akan terpacu untuk lebih meningkatkan prestasinya. Salah satu bentuk penghargaan tersebut adalah bea siswa tugas belajar.

Sekarang sering kita dengar seorang PNS yang diberi beasiswa untuk melanjutkan pendidikan S1 atau S2 baik di luar negeri maupun dalam negeri. Bea siswa tersebut diberikan berdasarkan hasil ujian seleksi. Materi ujiannya mungkin tak ada kaitannya dengan pekerjaan. Maka dimungkinkan akan terjadi seperti ini :  seorang PNS yang berprestasi dan sibuk dalam pekerjaannya, sehingga tak ada waktu pada saat jam kerja untuk belajar, jelas akan tersisihkan oleh mereka yang sedikit pekerjaannya dan lebih banyak kesempatan untuk belajar materi ujian.

Terkadang pula, seorang yang telah menyelesaikan studi beasiswa, belum tentu ia segera menguasai pekerjaan di kantor, karena memang studinya tidak 100% terkait dengan pekerjaan. Pemerintah tampaknya harus lebih kreatif menciptakan bentuk-bentuk penghargaan bagi PNS yang berprestasi dan tidak hanya silau pada hasil ujian seleksi.