Kamis, 31 Januari 2013

SPTB : Riwayatmu Dulu

Seri Teknik Perbendaharaan (3)


(Sungguh berani sekali saya menuliskan sebagai Teknik Perbendaharaan…  Apa yang saya tulis adalah tata cara perbendaharaan jaman dulu atau bisa dikatakan sudah lewat jaman alias kedaluarsa. Namun, saya meyakini teknik atau pengetahuan ini akan berguna pada saatnya nanti, minimal sebagai wasilah untuk bernostalgia…)
***

Sebelum terbitnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 190/PMK.05/2012 tentang Tata Cara Pembayaran Dalam Rangka Pelaksanaan APBN, salah satu lampiran Surat Perintah Membayar (SPM) dalam proses pencairan dana APBN adalah apa yang kita kenal dengan istilah SPTB (Surat Pernyataan Tanggung Jawab Belanja).

Terakhir, ketentuan tersebut diatur dalam PMK nomor 134/PMK.06/2005 tanggal 27 Desember 2005 tentang Pedoman Pembayaran Dalam Pelaksanaan APBN dengan juknisnya Peraturan Dirjen Perbendaharaan nomor PER-66/PB/2005 yang diubah dengan PER-11/PB/2011.

Dalam Perdirjen tersebut, SPTB adalah pernyataan tanggung jawab belanja yang dibuat oleh pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran atas transaksi belanja sampai dengan jumlah tertentu. Dengan PER-11/PB/2011, SPTB dibedakan antara SPTB SPM GU dan SPTB SPM LS, yang sebelumnya sesuai PER-66/PB/2005 tidak ada pembedaan format.

Bila dirunut sejarahnya, munculnya SPTB berawal dari Surat Edaran Dirjen Anggaran (SE DJA) No.SE-148/A/55/1094 tanggal 13 Oktober 1994 yang merupakan tindak lanjut dari Surat Menteri Keuangan tanggal 10 Oktober 1994 No.S-743/MK.03/1994. Dalam Surat Menkeu tersebut menyebutkan bahwa dalam perkembangannya bukti yang sah pada lampiran permintaan pembayaran -dulu dengan istilah : SPP-GU (surat permintaan pembayaran penggantian UYHD)-  makin lama makin banyak sehingga mengganggu kelancaran penyelesaian dan pembayaran dari pada SPP-GU dimaksud. Untuk itulah kemudian dipandang perlu untuk melakukan penyederhanaan lampiran SPP-GU.

Pada perkembangannya batas nilai bukti-bukti pembayaran yang ditampung dalam SPTB telah mengalami perubahan. Awalnya adalah bukti-bukti pembayaran yang jumlahnya kurang dari Rp. 500.000,00 setiap kuitansi sebagaimana dalam SE DJA diatas. Kemudian pada SE DJA No.SE-72/A/2000 tanggal 15 Mei 2000 naik menjadi kurang dari Rp. 1 Juta setiap kuitansi dan dengan SE DJA No.SE-18/A/2001 tanggal 29 Januari 2001 ditetapkan menjadi kurang dari Rp. 1,5 juta. Selain itu, termasuk yang ditampung dalam SPTB adalah daftar pembayaran honor/lembur/gaji upah dengan jumlah tidak terbatas.


SE DJA No.SE-148/A/55/1094 tanggal 13 Oktober 1994 dapat kita istilahkan sebagai induk aturan SPTB. Meski dibedakan antara SPTB rutin (SPTB R) dan SPTB pembangunan (SPTB P) yang waktu itu mengikuti pembedaan antara belanja rutin dan belanja pembangunan, namun format/bentuk SPTB sama. Dalam SE tersebut memberikan petunjuk antara lain :

  • SPTB R/P dibuat untuk setiap MAK (mata anggaran pengeluaran/akun) oleh Kepala Kantor/Satker/ Pimpro/Pimbagpro.
  • Bukti-bukti pembayaran yang ditampung dalam SPTB R/P tidak lagi dilampirkan pada SPP-GU, tetapi disimpan pada Kantor/Satker/Proyek/Bagpro sebagai dokumen belanja negara, sesuai dengan ketentuan yang berlaku serta untuk kelengkapan administrasi dan keperluan pemeriksaan aparat pengawasan fungsional. Yang terakhir ini dengan jelas tercantum dalam format SPTB itu sendiri.


Selanjutnya dalam lampirannya, mengenai petunjuk pengisian SPTB R/B, dijelaskan antara lain :
-          untuk kolom penerima : diisi nama penerima pembayaran, misalkan :
o   PT Subur di Jakarta
o   Dari daftar pembayaran honor/lembur/gaji upah cukup dicantumkan nama dari nomor urut satu cs, misal : Amin cs.
-          untuk kolom uraian pengeluaran : diisi keperluan pembayaran, misalkan : pembelian alat-alat rumah tangga kantor, pembayaran honor/lembur dsb.

Tidak ada jalan di kampungku yang tanpa lubang, dalam praktek saat itu, tidak semulus apa yang diharapkan, muncul beberapa interpretasi yang berbeda. Hal ini dapat dilihat dari daftar kesalahan dalam penerbitan SPM yang diterbitkan oleh satu pihak (sebut saja pihak I), antara lain :

  1. Uraian pada SPTB  tidak dijelaskan tujuan dan lamanya melakukan perjalanan dinas
  2. Uraian pada SPTB tidak dijelaskan pangkat/golongan dan lamanya setiap pegawai melakukan perjalanan dinas
  3. Bukti setor (SSP) PPh pasal 23 atas pemeliharaan kendaraan dinas pada SPTB tidak terlampir
  4. Bukti setor PPh pasal 23 atas biaya pemeliharaan gedung kantor, rumah jabatan dan pemeliharaan kendaraan roda 4  (Red : semuanya ditampung dalam SPTB) tidak terlampir

 Atas kesalahan-kesalahan (menurut pihak I) diatas ditanggapi oleh pihak II dengan tanggapan antara lain :

  • untuk nomor 1 dan 2, tanggapannya : Tidak ditemukan ketentuan/SE DJA yang mengharuskan hal tersebut. Pada petunjuk pengisian SPTB dalam SE DJA No.SE-148/A/55/1094 tangal 13-10-1994 perihal SPTB R/P tidak mengharuskan penulisan keperluan pembayaran perjalanan dinas secara detail pada kolom uraian.
  • sedangkan untuk nomor 3 dan 4, tanggapannya : sesuai SE DJA No.SE-148/A/55/1094 tanggal 13-10-1994 perihal SPTB R/P, bukti-bukti pembayaran atas transaksi yang ditampung dalam SPTB R/P tidak lagi dilampirkan tetapi disimpan pada kantor/satker/proyek untuk kelengkapan administrasi dan keperluan pemeriksaan aparat pengawasan fungsional.

Jadi, isi dari tanggapan pihak II merupakan bantahan atau pembelaan, artinya pihak II tidak sepakat dengan apa yang ditulis atau yang menjadi pemikiran pihak I.

Dari daftar kesalahan dan tanggapan pihak II dapat kita petakan dua pemikiran yang berbeda berkenaan dengan SPTB yang dapat kita lihat pada tabel dibawah ini :

Masalah
Pemikiran pihak I
Pemikiran pihak II
 Nama Penerima & Uraian pengeluaran
Mencantumkan secara detail, seperti tujuan dan lamanya perjalanan, pangkat/golongan pegawai yang melakukan perjalanan.
Tidak harus detail
Bukti Setor SSP
Untuk PPh pasal 23, berapa pun nilai pengeluaran dalam SPTB tetap harus melampirkan bukti setor SSP
Tidak perlu dilampirkan, tetapi disimpan oleh bendahara

Untuk menelusuri bagaimana kedua pemikiran tersebut, kita mencoba melihat persoalan diatas dari argumentasi  yang berbeda dengan memposisikan diri kita pada dua pihak tersebut, sebagai berikut :

Masalah
Sudut Pandang pihak I
Sudut Pandang pihak II
Nama Penerima & Uraian Pengeluaran







Bukti setor SSP
  1. untuk memudahkan pemeriksaan/penelitian terhadap jumlah uang yang tercantum dalam SPTB. Dengan mencantumkan tujuan dan lamanya perjalanan serta pangkat/golongan dapat diketahui tarip biaya perjalanan dan berapa nilai total yang seharusnya
  2. untuk biaya pemeliharaan berapa pun nilainya dikenakan PPh pasal 23. Untuk itu bukti setor SSP juga harus dilampirkan. Interpretasi Kasipa mengenai bukti-bukti pembayaran yang tidak perlu dilampirkan adalah hanya kwitansinya saja, tidak termasuk SSP
  1. Tidak ada ketentuan yang mengatur hal demikian. Pihak II hanya bisa menghimbau agar bendahara melakukan hal tersebut. Namun jika ada SPTB yang tidak mencantumkan hal dimaksud, pihak II tidak dapat mengembalikan SPTB ke bendahara
  2. Semua bukti pengeluaran yang ditampung dalam SPTB tidak perlu dilampirkan dan disimpan oleh bendahara. Interpretasi pihak II mengenai bukti-bukti pembayaran adalah semuanya yaitu kwitansi dan termasuk juga SSP. Jadi tetap dikenakan pajak tetapi tidak perlu dilampirkan.

Untuk memperkuat argumentasi pihak II, pertama-tama akan kita kemukakan bantahan-bantahan terhadap argumentasi pihak I mengenai kedua persoalan diatas :
  1. mengenai persoalan uraian pengeluaran dan penerima pembayaran, telah jelas bahwa tidak ada ketentuan/DJA yang mengatur hal demikian sebagaimana tanggapan pihak II. Sedangkan yang ditulis oleh pihak I bersifat normatif tanpa ada landasan hukum, yang seharusnya tidak sepatutnya dimasukkan dalam daftar kesalahan. Jadi hal tersebut bukan merupakan kesalahan karena memang tidak ada yang dilanggar. Jika pihak I menghendaki demikian, maka hal itu hanya merupakan sebuah anjuran.
  2. berkenaan dengan bukti setor SSP yang harus dilampirkan, hal ini akan bertentangan dengan maksud dan tujuan dari adanya SPTB sebagaimana Surat Menkeu diawal tulisan yaitu memperlancar penyelesaian dan pembayaran, selain melakukan penyederhanaan lampiran. Adapun SE DJA No.SE-18/A/2001 tanggal 29 Januari 2001 yang mempersyaratkan fotokopi SSP yang telah dilegalisir sebagai lampiran, tidak dijelaskan untuk lampiran apa, kuitansi atau SPTB, sehingga bila tetap mempedomani SE DJA tentang SPTB maka sebenarnya fotokopi SSP tersebut adalah sebagai lampiran kuitansi yang nilainya Rp. 1,5 juta keatas.

Setelah melakukan bantahan terhadap argumentasi pihak I, maka perlu dijelaskan pula argumentasi-argumentasi yang mendukung sudut pandang pihak II, khususnya berkenaan dengan bukti setor SSP. Beberapa argumentasi dimaksud dapat kita baca sebagai berikut :
  1. apabila tetap harus melampirkan SSP, maka seharusnya juga dilampirkan faktur pajak untuk pengadaan barang/jasa sebagai dasar perhitungan pajak. Tanpa faktur pajak kita tidak dapat mengetahui pengenaan pajak secara tepat. Dengan faktur kita dapat mengetahui barang/jasa apa saja yang dikenakan pajak atau yang dibebaskan dari pajak. Dan jika melampirkan faktur pajak maka hal itu akan menghilangkan efektifitas SPTB sebagaimana maksud dan tujuannya. Begitu juga kemudian misalnya dengan jalan mencantumkan perincian barang/jasa pada SPTB, hal demikian tidak diatur dalam ketentuan SPTB. Contoh lain adalah SSP untuk PPh pasal 21 atas honor/gaji upah yang selama ini harus dilampirkan. Karena PPh pasal 21 dimaksud dikenakan untuk pegawai golongan III keatas sementara pada SPTB tidak ada aturan yang mengharuskan mencantumkan pangkat/golongan pegawai yang menerimanya, sehingga sulit untuk mengetahui siapa saja yang dikenakan pajak, maka seharusnya bukti setor pajak tidak perlu dilampirkan. Selain alasan utama adalah karena pengeluaran tersebut ditampung dalam SPTB.
  2. Untuk mengetahui jumlah penerimaan pajak dan penyetoran pajak yang dilakukan bendahara, pada pengajuan permintaan-GU telah dipersyaratkan adanya lampiran Daftar Penerimaan dan Penyetoran Pajak sebagaimana SE DJA No.SE-39/A/1990 tanggal 14 Maret 1990.
  3. Pihak II bukan aparat pajak yang bertugas “memelototi” pajak sampai sekecil-kecilnya. Kita seyogyanya mempercayakan hal tersebut kepada aparat pengawas fungsional yang akan melaksanakan pemeriksaan terhadap semua transaksi yang dilakukan bendahara.

 Dari bahasan diatas, dapat kita tarik kesimpulan sebagai berikut :
  1. Tidak ada ketentuan yang mengharuskan mencantumkan secara detail penerima dan uraian pengeluaran pada SPTB, sehingga bukan merupakan kesalahan dan tidak sepatutnya dimasukkan dalam daftar kesalahan.
  2. Semua bukti pengeluaran yang ditampung dalam SPTB sampai dengan kurang dari Rp. 1,5 juta tidak perlu dilampirkan bukti setor SSP. Kita tetap berpedoman pada ketentuan yaitu dikenakan pajak tetapi bukti setor pajak disimpan oleh bendahara. Oleh karena itu, lampiran SSP untuk SPTB yang bernilai diatas Rp. 1 juta sampai dengan kurang dari Rp. 1,5 juta untuk setiap pengadaan barang/jasa, biaya pemeliharaan dan sebagainya yang menurut ketentuan dikenakan pajak, tidak diperlukan lagi.
Begitulah perdebatan seputar SPTB yang terjadi pada jaman UYHD. Sebenarnya, sejak dulu sudah ada pihak-pihak yang menginginkan penyerahan tanggung jawab kepada satker K/L dalam batas-batas tertentu.

Nah, bagaimana dengan ketentuan saat ini. Dengan PMK 190/PMK.05/2012, tak ada lagi kewajiban untuk membuat SPTB. Semuanya telah berubah. Tak ada lagi kontrol belanja yang dilakukan oleh kementerian keuangan terhadap item belanjaan kementerian/lembaga (K/L). Paradigma lets the manager manage, hampir-hampir secara full diberlakukan, dan tanggung jawab sepenuhnya ada di K/L. Apakah kemudian kementerian keuangan, hanya sekedar kasir? Tutup mata dengan apapun pengeluaran yang dilakukan K/L? Padahal, menurut saya, esensi UU Keuangan Negara dan UU Perbendaharaan Negara, yang menyebut Menteri Keuangan bukanlah sekedar kasir termasuk mekanisme check and balance ada di SPTB….

(mungkin saja tulisan ini bersambung)…