Jumat, 04 Januari 2013

Ulangan Matematika, Bantara Pencoleng, Bantara Inti, Bantara Korve, Bantara Ecek-Ecek

Suatu hari di ruang workshop SMA… Dulu, ruang workshop SMA-ku terletak di belakang kelasku, IA. Saat itu, sedang praktek mata pelajaran ketrampilan. Aku lupa, entah praktek masak atau kerajinan lainnya...  Tiba-tiba dibagikan hasil ulangan matematika… Seperti biasa kami saling melihat berapa nilai yang diperoleh teman-teman… Tapi seperti biasa juga, tidak semua teman yang mau dilihat nilainya, mungkin saja karena nilainya jeblok

Nilaiku lumayan bagus… Aku penasaran dengan nilai salah seorang teman wanita. Aku coba rebut hasil ulangan saat dia lengah. Dia marah. Tiba-tiba… Buk…!! Punggungku terasa sakit. Tangan lembutnya menghantam punggungku. Aku ingat ada seorang teman wanita lain, yang melihat kejadian itu. Aku lupa, entah apa komentarnya saat itu…

Aku juga heran mengapa aku penasaran sekali dengan nilainya… jangan-jangan waktu itu aku sudah mulai …

Sebelum masuk SMA, tepatnya saat masih SMP, aku ingat sudah pernah ketemu dia sebelumnya. Dia dengan regunya menjadi lawan regu kami saat lomba LCT P4 yang dilaksanakan dalam rangka HUT Partai Kuning. Reguku menjadi juara kedua, dan regunya juara ketiga.

Satu hal yang selalu aku ingat dari dia adalah gaya dia saat berjalan. Jalannya cepat. Di kalangan kelas I SMA saat itu, dia yang pertama kali mengenakan pakaian kerudung. Dia juga aktif di organisasi kesiswaan, OSIS dan pramuka. Bahkan, sejak kelas satu dia sudah dibidik oleh para tetua Pramuka untuk dikader menjadi salah satu pimpinan pramuka.

Benar…, saat kegiatan Pembantaraan Pramuka di Slondo Ngawi, dia bersama 10 teman lainnya dilantik menjadi Bantara Pencoleng. Sebuah regu beranggotakan para elite pramuka yang akan segera diserahi tugas untuk meneruskan kepemimpinan di Pramuka. Kenapa namanya pencoleng? Aku juga tidak tahu.

Menjadi anggota pramuka dan ikut latihan pramuka setiap sabtu sore adalah wajib bagi seluruh siswa kelas satu. Karena rumahku jauh dan ngonthel sepeda, setelah lonceng pulang sekolah, aku istirahat di sekolah sambil menunggu jam latihan pramuka. Biasanya aku dibekali makan siang, atau kalau tidak, aku makan di warung di sebelah utara sekolah.

Pelatih pramuka adalah para bantara, siswa kelas dua. Tujuan utama dari latihan pramuka adalah untuk menggembleng mental siswa kelas satu. Katanya. Kata siapa?... Hukuman push up, bentakan, gojlokan para pelatih, menjadi menu utama latihan pramuka. Tak sedikit siswa kelas satu yang menangis karena ketakutan. Aku pikir latihan ini tidak lebih dari ajang balas dendam siswa kelas dua, yang ketika mereka kelas satu juga mendapat perlakuan yang sama dari kakak kelasnya. Dan begitu seterusnya….. Syukurlah, aku dengar, saat ini latihan pramuka sudah tidak segawat dulu lagi. Ini info shahih dari mantan Pradana jamanku yang sekarang menjadi Pak Guru di SMA-ku.

Dalam hal pramuka, aku bukan apa-apa, biasa-biasa saja. Tidak ada prestasi kepramukaan yang menonjol. Anehnya, ketika hari terakhir pembantaraan di Slondo, aku ikut dilantik masuk dalam kelompok Bantara Inti. Yang artinya, aku punya hak untuk ikut melatih adik-adik kelas satu setelah aku naik kelas dua. Artinya, aku punya sertifikat untuk menyuruh push up, membentak, meng-gojlok, mengetes dan memaraf buku SKU (syarat kecakapan umum).

Padahal, fakta selama kegiatan pembantaraan aku lebih banyak bertugas menjaga tenda alias korve. Bahkan saat kegiatan penjelajahan yang bisa dikatakan kegiatan inti, aku juga korve, pokoke bantara korvelah… Lha ternyata.., aku malah terpilih jadi Bantara Inti, meski bukan pencoleng.

Setelah aku pikir-pikir, sepertinya ada kaitannya dengan kegiatan lain yang aku ikuti. Aku aktif di IKRAM, wadah kegiatan remaja masjid sekolah. Sang ketua IKRAM saat itu, juga merangkap sebagai Pradana alias Ketua Bantara. Aku dengar, saat ini IKRAM sudah bubar, lebih tepatnya mungkin dibubarkan, karena dicurigai dijadikan wadah untuk mencetak para radikalis oleh pihak-pihak luar. Padahal, kami yang para ‘assabiqunal awwalun’ termasuk diriku, tidak ada yang jadi tokoh radikal. Ya, mungkin ini dampak setelah banyaknya bom bunuh diri yang dilakoni oleh anak-anak muda.

Maka, tugasku sebagai bantara inti pada saat pembantaraan siswa kelas satu di Kresek adalah sebagai marbot, mengurusi kegiatan sholat berjamaah. Diluar jam sholat, tidak ada kegiatan yang aku tangani. Biasanya aku dan Hendro pergi ke sungai, duduk-duduk di atas bebatuan besar di tengah sungai, sambil ngrasani tingkah-polah teman-temanku yang lain, yang sepertinya memanfaatkan momen pembantaran untuk PDKT, untuk pacaran, untuk exis, dll, biasalah anak SMA…

Pada saat kegiatan penjelajahan, masih tetap dengan Hendro, aku menunggu di pos di pinggiran sungai. Setiap kali datang rombongan calon bantara, aku punya kesempatan untuk ngerjain mereka. Aku suruh mereka berendam atau baris-berbaris di dalam sungai. Sementara aku berdiri diatas batu besar, calon bantara basah kuyuh di sungai. Jujur, aku sejatinya tidak tega, karena tahun sebelumnya aku tidak ikut dikerjain saat penjelajahan, karena dapat jatah korve.

Andai saja ada lagi pembantaraan, aku pengen ikut mendaftar, bukan sebagai panitia, tapi sebagai peserta. Yang pasti, aku tidak bersedia lagi bertugas korve. Paling tidak, targetku adalah menghapus stigma korve. Minimal, si Hendro tidak lagi mengolok-olok diriku sebagai Bantara Korve, lebih-lebih jangan sampai dia menyebutku Bantara Ecek-Ecek