Senin, 17 Desember 2012

Habis Jati Terbitlah Bencana


Tulisan saya dibawah ini pernah dimuat di Koran Kendari Pos, Sabtu, 1 Nopember 2003 pada rubrik Opini hal. 4 :

Satu setengah tahun yang lalu, ketika kami baru tiba di Kota Jati untuk membuka kantor baru, hutan jati disamping kantor kami itu masih hijau, rimbun dan masih banyak pepohonan.  Saya tidak habis pikir kenapa para bos kami memilih kantor yang berada di dekat hutan. Shock rasanya. Bagaimana tidak? Sebelumnya kami berasal dari tempat ramai dan kemudian harus pindah dan berkantor di dekat hutan. Soal ini pernah saya tulis dan dimuat pada sebuah majalah internal yang dikirim ke seluruh kantor kami dari Sabang sampai Merauke. Maka kemudian, kantor kami terkenal karena terletak di pinggiran hutan jati.

Waktu terus berjalan. Setiap sore tidak jarang kami mendengar suara pohon tumbang. Sepertinya kami kompak untuk berhitung ketika mendengar suara pohon tumbang itu, kami berteriak. “.. satu ..”, kemudian terdengar lagi suara pohon tumbang," ... dua ... dst". Dalam hati kami bertanya, siapakah mereka? Kami penasaran dan mencoba mengintip di dekat pintu. Muncullah perbincangan diantara kami tentang siapa yang patut disalahkan? Dan jawabannya tidak pernah kami simpulkan. Kami hanya menyimpannya dalam hati dengan masih banyak tanda tanya.

Dari hari senin sampai dengan jum’at saya masuk kantor dan bekerja dari pagi sampai sore. Siang hari saya beristrahat pulang untuk makan siang. Jika dihitung, 4 kali dalam sehari saya melewati jalan yang sama di pinggiran hutan jati dengan motor kreditan yang belum lunas. Pada saat melintas jalanan itu, mata saya selalu tertuju pada sebuah tugu pengumuman yang terletak di pinggiran hutan. Disitu tertulis, ''Barang siapa ..... ", sebuah larangan menebang pohon dan sanksi yang dikenakan bagi yang melanggar. Namun ironisnya di belakang tugu pengumuman tersebut terlihat batang pohon yang sudah tumbang dan areal hutan yang sudah gundul. Saya berpikir, untuk apa pengumuman itu dibuat kalau tidak ada tindakan tegas. Padahal untuk membuat tugu itu membutuhkan dana yang tidak sedikit karena pembuatannya sekaligus untuk jumlah tertentu dan dipasang di beberapa tempat. Memang di negeri ini, sepertinya hukum dan aturan dibuat untuk dilanggar. Coba saja Anda hitung UU yang telah dihasilkan para anggota dewan. Bukan main banyaknya. Kita ini memang hanya pintar untuk membuat konsep tetapi tidak punya nyali untuk menjalankannya. Persis dengan pintarnya para politisi dan pejabat membuat janji tetapi sedikit yang ia tepati.

Kami mencoba menikmati hidup ini dengan segala apa yang ada. Ya ... begitulah, dengan segala apa yang ada, ada rumah kontrakan, ada motor kreditan, ada kulkas bekas pakai, ada TV/VCD dari persekot gaji dan perabotan lainnya dari hasil cicilan hutang. Memang harus begitu menjadi pegawai dengan pangkat yang masih rendah. Kami tidak boleh membayangkan hidup seperti para konglomerat atau selebritis dimana hidupnya serba glamour dan mewah. Jika di negeri ini ada pegawai negeri hidupnya mewah, mungkin karena beberapa sebab, yaitu karena warisan orang tua yang kaya, atau karena ia pintar dan punya pekerjaan sambilan seperti mengajar, menulis dan berwiraswasta atau karena istri/suaminya juga ikut bekerja atau karena ia mendapat undian, atau karena ia.........(Anda pasti sudah bisa menebaknya). 

Kami sadar bahwa di kota Jati tidak seperti di kota besar. Maka tidak ada yang lain lagi hiburan yang kami lakukan bersama keluarga selain Jalan-Jalan Sore atau kami menyebutnya JJS. Jangan salah, JJS bukan BBS. Kalau BBS singkatan dari bobok-bobok siang. Istilah ini muncul karena perilaku para lelaki yang berselingkuh di siang hari pada jam-jam istirahat.

Prinsip hidup kami cukup sederhana. Hidup kami adalah detik ini, bukan masa lalu dan bukan masa depan. Hidup tidak bisa kembali pada kejayaan dan kebahagiaan masa lalu. Dan belum tentu hidup kita akan tiba pada masa depan yang telah kita rencanakan dengan gemilang. Kurang apa manusia ini untuk berencana, tetapi Tuhan penentu segalanya. Ada seorang bos saya yang sudah banyak mengeluarkan biaya untuk mengikuti pendidikan Lemhanas. Setahun kemudian ia lulus. Banyak orang menduga bahwa ia akan menjadi bos besar. Tapi ternyata ia kena serangan jantung dan meninggal dunia. Kesimpulannya, nikmati saja hidup saat ini.

Pada waktu itu anak saya baru berumur sekitar setahun tetapi sudah banyak tingkah. Dia sangat senang jika diajak jalan-jalan naik motor. Jika sehari tidak diajak jalan-jalan, maka tingkahnya akan aneh-aneh dan pasti rewel. Maka sudah menjadi kegiatan rutin setiap sore, yaitu JJS naik motor keliling kota sampai pelabuhan. Kadangkala, sore hari, istri dan anak saya sudah berdandan manis dan menunggu setia di depan rumah. Untunglah saya sholat ashar di kantor, sehingga tak perlu lagi saya masuk rumah dan langsung JJS. Meski saya sudah capek bekerja, tapi rasanya enjoy saja. Sepanjang jalan kami bersenda gurau. Istri  bercerita tentang hal baru yang dilakukan anak saya. Saya juga bercerita tentang pekerjaan kantor dan lain sebagainya. Sedangkan anak saya, ia berjingkrak-jingkrak gembira, lucu sekali…

Karena saya selalu arahkan perjalanan kami ke pelabuhan, maka tak terelakkan lagi, mata kami selalu tertuju pada tumpukan log jati yang terletak di tanah Iapang disamping perempatan bypass dekat pelabuhan. Kami pun terkadang duduk-duduk diatas log-log sambil menikmati makanan kecil yang kami beli. Katanya, log-log jati itu berasal dari penebangan liar yang dilakukan warga dan kini disita aparat. Saya membayangkan seandainya log-log itu berdiri dan menjadi pohon, tentu akan menempati areal yang sangat luas. Hari-hari berikutnya, log-log itu menghilang dan kini tanah lapang itu dipakai anak-anak untuk main bola.

Suatu kali saya ke pelabuhan, saya melihat antrean truk yang mengangkut log-Iog dan akan dipindahkan ke sebuah kapal yang cukup besar. Katanya log-log itu telah dilelang dan dijual kepada pihak lain. Ketika saya dirumah, secara tidak sengaja saya menonton berita di TVRl tentang Kabupaten Jati. Dalam berita itu Sang Bupati mengatakan bahwa tahun ini PAD meningkat pesat. Oo..!

Beberapa waktu yang lalu pemerintah daerah mengultimatum warga yang membuka kebun untuk segera pergi dari areal hutan jati. Warga sepertinya tidak menggubris. Aparat kemudian bertindak. Mereka membabat tanaman warga. Saya baru sadar ternyata areal hutan telah di kapling-kapling warga. Esok harinya warga mulai berunjuk rasa. Mereka menuntut dan tidak terima perlakuan aparat. Mereka minta agar pemda memberi ijin sampai dengan tanaman bisa dipanen. Pemda kemudian memagari hutan dengan kawat berduri. Tetapi ini juga tidak membuat jera masyarakat, mereka berkebun dan membuka areal hutan. Suatu hari kemudian pemerintah mencoba bertindak tegas. Berbeda dengan sebelumnya Pemda juga mendatangkan aparat kodim dan sebuah mesin traktor. Warga pun berkumpul dan menghadang traktor itu. Rupanya mesin traktor tidak punya nyali dan tidak mau dihidupkan. Aparat sendiri juga tidak mau ambil resiko bila ada korban. Akhirnya mereka pulang dan warga pun kembali berkebun. Waktu itu warga berteriak mengatakan "mengapa kami yang disalahkan, apakah kami telah kaya dengan apa yang kami lakukan, kenapa yang ditindak bukan mereka oknum-oknum ..... ". Saya jadi bingung, manakah yang benar?

Bicara tentang oknum yang melakukan penebangan liar, saya jadi teringat dengan sebuah buku yang saya baca ketika saya masih SMA. Tulisan itu sangat membekas dalam pikiran saya, sehingga saya masih sanggup menceritakannya saat ini meski tidak lengkap. Buku itu berjudul "Slilit Sang Kyai" karangan MH Ainun Najib. Sejak saat itu itu saya gemar membaca tulisan-tulisan maupun buku-bukunya. Kira-kira begini isi tulisan itu. Ada seorang kyai di kampung yang diundang tetangganya, untuk membaca doa pada acara selamatan/kenduri. Kebiasaan di kampung bila selamatan adalah memotong ayam dan dipanggang untuk kemudian dimakan ramai-ramai pada saat selamatan. Ketika itulah sang kyai merasakan ada sepotong daging masuk disela-sela giginya. Orang Jawa menyebut daging itu sebagai “Slilit”. Karena tidak ada tusuk gigi dan malu jika harus korek-korek gigi, maka sang kyai membiarkan slilit tersebut. Acara pun bubar. Sepanjang perjalanan sang kyai masih merasakan sesuatu yang tidak enak disela-sela giginya. Ketika lewat didepan rumah penduduk, sang kyai mengambil sedikit kayu kira-kira sebesar lidi dari pagar halaman untuk dijadikan tusuk gigi. Maka legalah ia karena sekarang slilit itu sudah dapat dikeIuarkan. Sesampainya dirumah seperti biasa ia sholat sunnah sebelum ia tidur. Dalam tidurnya ia bermimpi berada di hari perhitungan amal manusia, untuk menentukan surga atau neraka. Tibalah giliran sang kyai untuk dihitung amal perbuatannya selama hidup di dunia. Terlihat semua amal perbuatannya bagus dan kini ia mulai bersiap-siap masuk surga. Tetapi kemudian malaikat pencatat amal buruk menghentikan. "Sebentar dulu, rupanya ini ada satu perbuatan yang membuat kamu belum bisa masuk surga sekarang. Kamu ingat ketika kamu mengambil sedikit kayu untuk tusuk gigi, apakah kamu meminta ijin pada pemiliknya. Ternyata kamu belum meminta ijin dan itu berarti kamu telah mencuri". Ia pun terbangun. Pucat pasi wajahnya, ia tampak ketakutan sekaIi. Gara-gara sepotong kayu untuk membersihkan slilit ia tertunda masuk surga. Cepat-cepat ia bangun dan pergi kerumah pemilik kayu. Kemudian ia menceritakan semua kejadian dan meminta ridhonya atas sepotong kayu yang telah ia ambil. Sang Kyai kemudian merenung. Dalam hati ia bertanya, "Kalau hanya gara-gara sepotong kayu, saya tidak bisa masuk surga, terus bagaimana dengan mereka yang tanpa ijin menebang dan mengambil pohon-pohon di hutan untuk kepentingan pribadi”.

Saat ini di beberapa daerah di Jawa Tengah mengalami kekeringan akibat kemarau panjang. Beberapa sungai dan bendungan telah kering. Penyebabnya adalah hutan di dekat hulu sungai telah habis dibabat manusia. Berita ini hampir setiap hari kita lihat dan kita dengar melalui televisi dan radio bahkan juga kita baca di koran. Meski kita tidak hidup untuk masa lalu tetapi seharusnya kita bisa mengambil pelajaran dari peristiwa yang telah terjadi. Sebenarnya hanya keledai yang mengulangi kesalahannya. Nampaknya, lima sampai sepuluh tahun lagi saya harus mengubah tulisan saya pada majalah internal kami, karena kantor kami tak lagi terletak di pingglran hutan jati karena hulan jati itu telah tiada. Apakah yang akan dibanggakan masyarakat kota jati setelah jati itu habis!.

Lalu, kira·kira apa yang akan terjadi saat itu? Mungkinkah kekeringan akan mengancam masyarakat Kota Jati setelah hutan jati habis. Ataukah banjir akan melanda pada musim hujan. Saya berdoa agar hal demikian tidak terjadi. Kasihan anak cucu kita yang menderita akibat ulah kita. Saya kira jika lbu Kita Kartini masih hidup dan tinggal di Kota Jati, mungkin ia akan mengarang sebuah buku dengan Judul "Habis Jati Terbitlah Bencana”.