Rabu, 26 Desember 2012

Cerpen : Laki-Laki Itu



(Sepotong Cerita Di Solo Balapan)

-Pada rentang waktu di tahun 1997-,

Semburat merah kedua pipinya tak bisa ia sembunyikan ketika mata lelaki di depannya dengan tajam menatap matanya. Buru-buru ia tundukkan kepalanya karena tak kuasa melihat mata penuh kerinduan itu. Jantungnya berpacu dengan cepat. Senang, bahagia, malu, takut bercampur jadi satu ia rasakan saat itu. Pria itu kemudian menyapanya dengan lembut. “Sudah lama nunggunya ?”. Suara itu bergetar. “Ah ndak, kira-kira ¼ jam”. Suaranya juga bergetar. Tak pernah ia seperti itu, kenapa ? “Saya ke kamar mandi dulu, tolong titip tasnya.” Ia hanya mengangguk, tidak berani berucap. Ia perhatikan pria tinggi itu pergi ke kamar mandi. Sepertinya masih seperti dulu, tinggi, kurus dan sederhana. Senyumnya juga masih mahal dan pertemuan tadi pun juga tanpa ada senyuman.

Ia buka album wisuda yang ada diatas tas pria itu. Ia perhatikan foto-foto didalamnya, namun pikirannya melintas kembali ke masa SMA. Ia tahu persis siapa lelaki ini. Dia pintar dan juara di sekolahnya. Ia juga hebat karena setamat SMA, ia diterima kuliah di beberapa PTN/Sekolah kedinasan. Namun rupanya ia pilih kuliah ikatan dinas di Jakarta.

Jantungnya kembali berdebar-debar. “Seriuskah, laki-laki ini? ia kembali teringat kata-kata pria itu dalam surat yang dikirimnya seminggu lalu. Tapi ia belum menemukan kata-kata cinta di dalamnya. Ia hanya merasakan ada perhatian di dalamnya. Nafasnya ia tarik dalam-dalam.

Ia kaget karena tiba-tiba pria itu sudah ada disampingnya. “Melamun, ya ?”. Pria itu tersenyum kepadanya. Ia hanya gelengkan kepala sambil pula tersenyum. “Mari ke tempatku dulu” katanya. Ia pun bergegas menuju tempat parkir diikuti pria tinggi kurus yang kadang hadir dalam mimpinya.

Sepanjang perjalanan ia tak banyak bicara. Tidak tahu kenapa, padahal biasanya ia sangatlah cerewet dan banyak cerita. Ia hanya ngasih komando, belok kiri, kanan atau nyebrang jalan.  Tak pernah ia membayang dirinya bisa begitu dekat dengan pria itu. Tapi lagi-lagi seberkas keraguan selalu saja lewat, membuat jantungnya berdesir.

Tibalah mereka di tempat kost dan ia persilakan laki-laki itu masuk dan duduk di ruang tamu. Sebentar kemudian ia masuk ke kamarnya untuk berganti pakaian. Mereka telah sepakat akan pulang bersama ke kota kampung halaman pagi itu.

Kembali ia menarik nafas dalam-dalam, ia perhatikan foto laki-laki itu bersama gerombolan teman-temannya, yang ia pajang diatas meja. Ia mendapatkan foto itu dari seorang teman SMA-nya dulu. Foto yang senantiasa menghantuinya tapi juga ikut menjaga dirinya untuk tetap menyimpan rasa kepada pria itu. Padahal banyak teman prianya yang naksir dirinya. Bahkan kemarin ada yang mengirim bunga untuk dirinya, belum lagi si fulan yang selalu mengejar-ngejar dirinya. Tapi bagi dirinya cinta bukanlah hal yang bisa ia paksakan untuk diterima. Bayangan wajah pria itu selalu saja melekat di dinding-dinding kamarnya setiap ia akan beranjak tidur.

Sudah tiga tahun ia berpisah selepas SMA dan jarang bertemu dengan laki-laki yang sekarang ada di luar kamarnya. Ia dan laki-laki itu hanya bisa berkomunikasi lewat surat dan itu pun kadang-kadang terputus dan untuk kemudian sambung kembali. Ada sebuah keyakinan bahwa laki-laki itu juga menyimpan perasaan yang sama dengan dirinya. Ia sangat yakin sekali karena di setiap suratnya selalu saja yang terbaca adalah sebuah perhatian melebihi seorang teman, meski ia selalu menyebut dirinya sobat. Ia pun juga rindu dengan surat-surat yang dikirim kepadanya. Hanya surat-surat itu yang selama ini bisa mengobati kerinduan hatinya.

Kadangkala ia tidak bisa mengerti dengan laki-laki itu, apa sebenarnya yang ia mau dari hubungan yang mereka jalin lewat surat-surat. Sebab, dalam surat-suratnya laki-laki itu selalu memasang umpan dan menyalakan api untuk menjerat dan membakar hatinya. Selanjutnya hanya mengambang di awang-awang tanpa ada sebuah kepastian.

Dan kepastian itulah yang selalu ia nantikan. Laki-laki itu telah membuat janji untuk bertemu dan memintanya menunggu di Stasiun Solo Balapan. Begitulah yang terjadi pada dirinya hari itu. Sebuah hari indah yang mungkin tidak bisa ia lupakan sampai kapan pun. 

Maka selanjutnya adalah sebuah lakon manis yang ia jalani dengan suka cita dan begitu melegakan hati. Ia duduk disamping laki-laki itu dan dapat berbicara banyak tentang dirinya di sepanjang perjalanan diatas bus jurusan Surabaya. Rasanya waktu berjalan begitu cepat dan tak terasa mereka telah sampai di kota kampung halaman mereka. Sebuah kado ia terima dari laki-laki itu dan untuk kemudian mereka berpisah untuk pergi ke rumah masing-masing.