Rabu, 19 Desember 2012

Keputusan Presiden Nomor 42 Tahun 2002


(Tulisan dibawah ini, saya tulis pada suatu ketika di tahun 2003)

Setelah duduk di kursi kepresidenan selama hampir satu tahun sejak 23 Juli 2001, akhirnya pada tanggal 28 Juni 2002, Presiden Megawati mengeluarkan Keppres baru tentang Pedoman Pelaksanaan APBN yaitu Keppres Nomor 42 Tahun 2002. Ini menandai berakhirnya Keppres 17 Tahun 2000 yang dikeluarkan Gus Dur. Satu hal yang menarik adalah diakuinya Amandemen Ketiga UUD 1945. Terbukti dari konsideran pertama dasar hukum Keppres 42 Tahun 2002 adalah disebutkan disana pasal 4 ayat (1) dan pasal 23 UUD 1945 sebagaimana telah diubah dengan perubahan ketiga UUD 1945.

Dibandingkan dengan Keppres sebelumnya maka terdapat beberapa perubahan, malah ada bagian yang dihapuskan. Bila semula dalam Keppres 17 Tahun 2000 terdiri dari 8 bab dan 79 pasal maka dalam Keppres 42 Tahun 2002 menjadi 10 bab dengan 77 pasal. Dua bab baru dalam Keppres ini yaitu Bab V mengenai Pedoman Pelaksanaan Dana Perimbangan dan Bab VI tentang Pedoman Pelaksanaan Pembiayaan Defisit. Lebih rinci, Keppres 42 Tahun 2002 terdiri dari Bab I tentang Ketentuan Umum yang meliputi 16 pasal. Bab II tentang Pedoman Pelaksanaan Anggaran Pendapatan meliputi pasal 17 sampai dengan pasal 21. Bab III mengenai Pedoman Pelaksanaan Pengeluaran Rutin yang terdiri dari pasal 22 sampai pasal 36. Bab IV adalah Pedoman Pelaksanaan Pengeluaran Pembangunan yang meliputi pasal 37 sampai pasal 49. Bab V sebagaimana disebutkan diatas adalah Bab baru dalam Keppres ini yaitu tentang Pedoman Pelaksanaan Dana Perimbangan, terdiri dari pasal 50 sampai pasal 53. Bab VI juga merupakan Bab baru yaitu tentang Pedoman Pelaksanaan Pembiayaan Defisit. Bab ini hanya terdiri dari 2 pasal yaitu pasal 54 dan 55. Bab berikutnya adalah Bab VII yaitu Pedoman Pelaksanaan Anggaran dalam lingkungan Dephan dan Polri yang hanya 1 pasal. Untuk Dephan sendiri, sebelumnya pada Keppres 17 Tahun 2000 diatur dalam 5 pasal. Bab VIII tentang Penatausahaan, Pelaporan dan Pertanggungjawaban Pelaksanaan Anggaran, terdiri pasal 57 sampai pasal 67. Bab IX adalah Pengawasan Pelaksanaan Anggaran terdiri dari pasal 68 sampai 73. Dan Bab terakhir adalah Bab X yaitu Penutup yang terdiri dari 4 pasal.

Bila kita membaca Keppres 42 Tahun 2002 dengan cermat, maka kita akan menemukan beberapa perubahan antara lain :

Pertama, dengan Keppres 42 Tahun 2002, pemerintah terang-terang menegaskan menganut sistem anggaran defisit dan bukan lagi anggaran berimbang. Hal ini dapat kita baca dari pasal 2 Keppres tersebut yang menyebutkan bahwa APBN dalam suatu tahun anggaran mencakup pendapatan negara, belanja negara, defisit belanja negara, pembiayaan defisit dan surplus pendapatan negara. Selain itu, bila dalam Keppres 17 Tahun 2000 atau keppres-keppres sebelumnya selalu menerangkan bahwa anggaran belanja rutin dibiayai dari sumber-sumber penerimaan dalam negeri dan anggaran belanja pembangunan dibiayai dari tabungan pemerintah dan atau sumber-sumber pembiayaan lainnya, maka dalam Keppres 42 Tahun 2002 pasal yang menyebut hal demikian tidak ada lagi. Ini menunjukan bahwa pemerintah makin realistis melihat kenyataan bahwa negara ini tidak pernah memiliki tabungan pemerintah karena yang ada selama ini hanyalah pinjaman luar negeri. Bahkan mungkin untuk membiayai belanja rutin juga dengan pinjaman luar negeri. Maka penghapusan pasal tersebut adalah hal yang paling tepat dan realistis.

Perubahan kedua, adalah pasal yang membuat kita kembali lega yaitu mengenai pemberian tunjangan beras dalam hal suami dan istri adalah PNS/TNI/POLRI/Pensiunan. Dalam Keppresnya Gus Dur, apabila suami-istri kedua-duanya bekerja sebagai PNS/TNI/Polri/Pensiunan, tunjangan beras diberikan hanya kepada salah satu dari keduanya. Artinya bila Anda seorang PNS dan istri Anda juga PNS dengan 1 orang anak, dimana Anda adalah pihak yang menanggung maka Anda hanya mendapatkan tunjangan beras untuk Anda dan anak Anda saja. Alasannya, istri Anda adalah PNS dimana ia sudah mendapatkan tunjangan beras dalam pembayaran gajinya. Dengan Keppres 42 Tahun 2002, hal demikian tidak berlaku lagi dan kembali seperti dulu sebelum munculnya Keppres 17 Tahun 2000. Dalam penjelasan pasal 30 ayat (2) Keppres 42 Tahun 2002 tersebut dinyatakan bahwa apabila suami istri kedua-duanya bekerja sebagai pegawai negeri, tunjangan beras diberikan untuk masing-masing suami istri menurut haknya sebagai pegawai negeri. Disamping itu, tunjangan beras juga diberikan kepada istri atau suami dan anak-anak sebagai anggota keluarga yang dibebankan kepada salah satu pihak.

Perubahan ketiga, adalah pada pasal 56 Keppres 42 Tahun 2002 yang menyatakan bahwa penyaluran pengeluaran rutin dan pembangunan di lingkungan Dephan dan Kepolisian RI melalui rekening kas negara pada Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara (KPKN). Padahal sebelumnya, dalam Keppres 17 Tahun 2000, penyaluran belanja non pegawai dan belanja pembangunan Dephan dilakukan melalui rekening Dephan pada Bank Indonesia sedangkan yang disalurkan melalui KPKN hanyalah belanja pegawai. Dalam dua tahun terakhir pembayaran gaji TNI/Polri telah disalurkan melalui KPKN yang terdapat dihampir setiap Kabupaten. Artinya proses pembayaran gaji ke tangan personil TNI/Polri menjadi lebih cepat. Dengan demikian, bila pasal 56 tersebut benar-benar dilaksanakan maka tentunya air yang bocor disetiap saluran yang dilewati akan menjadi berkurang karena air itu akan langsung turun ke daerah dan tidak perlu lagi orang pusat yang mengurusinya. Maka kemudian tidak ada lagi diskriminasi dalam penyaluran dana rutin dan pembangunan pada semua Departemen seperti sebelumnya.

Perubahan lainnya yaitu Keppres ini secara khusus mengatur Pedoman Pelaksanaan Dana Perimbangan dan Pelaksanaan Pembiayaan Defisit. Keduanya merupakan hal baru dalam Keppres tentang Pedoman APBN. Sebelumnya, Pelaksanaan Dana Perimbangan diatur dengan Keppres tersendiri karena dalam Keppres 17 Tahun 2000 belum mengatur hal demikian. Dengan penambahan ini akan membuat Keppres 42 Tahun 2002 menjadi lebih komprehensif. Artinya karena dana perimbangan juga termasuk dalam pengelolaan APBN maka sudah tepat juga diatur dalam Keppres tentang Pedoman Pelaksanaan APBN dan bukan dalam Keppres tersendiri. Masih merupakan hal baru, Keppres 42 Tahun 2002 membuka peluang bagi pemerintah daerah atau BUMN untuk mencari sumber pembiayaan lain yaitu dengan melakukan pinjaman luar negeri melalui pemerintah pusat. Pada pasal 55 ayat (2) menyebutkan bahwa Pemerintah Pusat dapat menerus-pinjamkan pinjaman luar negeri kepada pemerintah daerah atau BUMN.

Selain perubahan diatas, ada perkembangan menarik dalam pemberantasan KKN yaitu jika sebelumnya dalam Keppres-keppres tentang pelaksanaan APBN tidak pernah menyebutkan pelanggaran dan sanksi, maka meskipun masih terkesan kurang tegas, terdapat pasal baru yaitu pasal 67 yang menyatakan bahwa setiap pegawai negeri karena kelalaian atau kesengajaan melakukan pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan dalam Keppres ini dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Perubahan-perubahan diatas adalah hal-hal yang prinsipil meski sebenarnya masih banyak lagi perubahan dalam Keppres 42 Tahun 2002 tetapi hanya menyangkut redaksional kata-kata yang pada pokoknya mengandung arti yang yang sama. Namun, meski Keppres ini telah membawa perubahan, tetap saja masih menyisakan permasalahan menyangkut pelaksanaan proyek dekonsentrasi. Rupanya Keppres ini tidak banyak menyinggung pelaksanaan proyek dekonsentrasi yang semestinya dapat dimasukkan dalam bab tersendiri. Persoalan di tahun anggaran 2002 yaitu seputar penolakan Bupati terhadap proyek-proyek dekonsentrasi atau kericuhan pelaksanaan proyek tersebut  seharusnya segera dituntaskan dengan Keppres yang baru.

Mengulas sedikit persoalan proyek dekonsentrasi, disebutkan dalam UU No. 25 tahun 1999 pasal 17, sebagai berikut :
Ayat (1) menyebutkan bahwa pembiayaan dalam rangka dekonsentrasi disalurkan kepada gubernur melalui departemen/LPND yang bersangkutan.
Ayat menyatakan (2) bahwa pertanggungjawaban atas pembiayaan pelaksanaan dekonsentrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh gubernur kepada pemerintah pusat melalui departemen/LPND yang bersangkutan.

Disitu sangat jelas bahwa gubernur sebagai pelaksana dekonsentrasi telah diberikan kewenangan dalam pelaksanaannya. Salah satu kewenangan tersebut adalah dalam hal penetapan pimpro dan bendaharawan. Hal ini juga telah diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan RI No.523/KMK.03/2000 tanggal 14 Desember 2000 tentang Tatacara Penganggaran, Penyaluran Dana, Pertanggungjawaban dan Pelaporan Pelaksanaan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan. Pada pasal 5 ayat (2) KMK tersebut menyebutkan bahwa pada setiap awal tahun anggaran gubernur menetapkan pemimpin proyek/bagian proyek dan bendaharawan proyek/bagian proyek untuk pelaksanaan kegiatan dekonsentrasi. Sudah tentu dalam SK pengangkatan, pimpro/bendaharawan yang ditunjuk adalah para pegawai di lingkungan dinas-dinas Propinsi. Hal ini sesuai dengan  pasal 63 UU No.22 tahun 1999 yang isinya menyatakan bahwa penyelenggaraan wewenang yang dilimpahkan oleh pemerintah kepada gubernur selaku wakil pemerintah dalam rangka dekonsentrasi, sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (3), dilaksanakan oleh Dinas Propinsi.

Masalahnya kemudian adalah ternyata proyek-proyek diatas berlokasi di Kabupaten dengan kantor bayar KPKN yang ada di ibukota kabupaten pula, sementara itu pimpro/bendaharawan berkedudukan di ibu kota Propinsi. Hal ini bertentangan dengan Keppres 17 Tahun 2000 pasal 41 ayat (5) yang selama ini menjadi Pedoman Pelaksanaan APBN sebelum Keppres 42. Disana dijelaskan bahwa pemimpin dan bendaharawan proyek berkedudukan di lokasi proyek atau ibukota kabupaten/kota terdekat. Ketentuan mana  yang dimenangkan, jelas UU karena secara hierarkis lebih tinggi dibandingkan dengan Keppres. Namun yang perlu diperhatikan adalah konsekuensi dari penetapan pimpro/bendaharawan tersebut. Dalam kenyataannya hal ini telah menimbulkan implikasi yang tidak baik bagi pelaksanaan dan pertanggungjawaban proyek tersebut. Namun sayang, dalam Keppres yang baru yaitu Keppres 42 Tahun 2002, ternyata tidak diatur lebih jauh mengenai Pelaksanaan Proyek Dekonsentrasi dan masih menyisakan pertentangan lama dengan tetap menyebutkan pada pasal 40 ayat (5) yaitu pemimpin dan bendaharawan proyek berkedudukan di lokasi proyek atau ibukota kabupaten/kota terdekat. Timbul pertanyaan, apakah kemudian melaksanakan UU No. 22 dan 25 tahun 1999 dengan melanggar Keppres 42 Tahun 2002 akan tetap dikenakan sanksi sebagaimana pasal 67 ? Semoga di tahun anggaran 2003 ini tidak lagi terjadi kericuhan pada pelaksanaan proyek-proyek dekonsentrasi seperti tahun sebelumnya.