Rabu, 19 Desember 2012

Surat Untuk Para Guru


Saya ingin menyampaikan sesuatu yang sudah lama mengendap dalam pikiran saya. Sesuatu itu berupa gagasan, keluhan dan harapan bagi peningkatan mutu dan kualitas guru demi masa depan pendidikan yang lebih cemerlang di masa depan.

Pertama, pada setiap pemilu, guru menjadi komoditas politik. Guru seringkali mendapat janji-janji yang berujung dengan pengingkaran. Saya berharap para guru tidak putus asa dan “nglokro”. Terbukti sekarang sebagian dari para guru telah menerima tunjangan sertifikasi. Hendaklah kita selalu berpikir positif dan senantiasa meningkatkan mutu dan kualitas diri. Disaat tayangan TV yang lebih banyak tidak mendidik, lingkungan pergaulan anak yang semakin tidak kondusif dan lingkungan keluarga yang makin memprihatinkan karena KDRT akibat tekanan ekonomi, satu-satunya harapan adalah sentuhan tangan para guru. Kepada mereka, kita titipkan anak kita di sekolah. Baik-buruknya masa depan bangsa ini sangat ditentukan oleh mutu pendidikan yang diberikan pada generasi penerus, yaitu anak-anak kita.

Kedua, Ada pepatah yang sering kita dengar yaitu “guru kencing berdiri, murid kencing berlari”. Pepatah itu selalu mengingatkan kita, para guru, untuk selalu berhati-hati dalam bertingkah laku dan bertutur sapa dihadapan murid. Hal ini saya kira sudah sangat kita pahami. Kita pun sebagian besar sudah hafal point-point kode etik guru. Tetapi, sebagaimana umumnya yang terjadi di negeri ini, bahwa antara aturan atau kode etik dengan realitas terkadang selalu bertolak belakang. Tidak cukup kita menghukum siswa yang merokok di sekolah, jika ternyata sang guru juga terus saja merokok di sekolah. Memarahi siswa yang terlambat akan hanya sia-sia belaka jika sang guru tiap hari juga selalu terlambat mengajar. Begitu seterusnya. Bangsa kita, termasuk para siswa, masih sangat dipengaruhi dan melihat contoh atau teladan para pemimpin atau tokoh dalam sebuah komunitas. Untuk itu, kritik agar para guru juga melakukan instropeksi diri adalah sesuatu yang pantas kita terima dengan lapang dada.

Ketiga, sebelum gaji PNS membaik dan sebelum kebijakan sertifikasi, jujur kita katakan bahwa sesungguhnya ketika kita lepas SLTA dan hendak melanjutkan kuliah, sedikit dari kita yang bercita-cita ingin menjadi seorang guru. Pilihan ingin menjadi dokter, insinyur atau profesi lainnya lebih menarik dibandingkan dengan keinginan menjadi guru. Saya ingin mengatakan bahwa sebagian dari kita memilih menjadi guru adalah lebih dikarenakan faktor ketidakberhasilan kita akan pilihan lainnya. Seseorang yang gagal UMPTN, kemudian ia mendaftar di PGSD atau mendaftar di sebuah PTS fakultas FKIP. Maka, tak heran, orang-orang yang kemudian menjadi guru bukanlah anak-anak yang dulu di sekolah dalam kategori pintar dan rangking di kelas, tetapi mereka yang memiliki kemampuan sedang atau rata-rata pada umumnya. Kita tidak perlu marah atas realitas ini. Tetapi, ini menjadi dorongan bagi kita untuk lebih meningkatkan kualitas diri. Dalam perkembangan ilmu modern, telah terbukti bahwa kemampuan IQ tidaklah cukup untuk modal mencapai kesuksekan tanpa adanya kemampuan EQ. Dan ada kecenderungan EQ lebih utama daripada IQ.  Ini kemudian yang menjadi sesuatu yang menghibur dan melegakan hati.

Itu dulu, semoga bermanfaat dan mungkin saja surat ini akan bersambung.....